Pengkhianatan Kaum Intelektual Dalam Perspektif Kebudayaan – Bahagian I
July 30, 2014

Pendahuluan

Tidak selalu mudah memasukkan seorang intelektual ke dalam kategori pengkhianat atau pun pahlawan. Sistem nilai dan kondisi politiko-kultural dalam sebuah masyarakat perlu dipertimbangkan untuk menilai posisi seseorang dalam konteks sejarah tertentu. Pada umumnya pengkhianatan intelektual itu terjadi manakala bersinggungan dengan kekuasaan. Sekiranya filosuf Martin Heidegger (1889-1976) tidak segera mengundurkan diri sebagai rektor Universitas Freiburg pada 1934, padahal dia baru saja diangkat pada 1933, barangkali cap sebagai pengkhianat mungkin dapat dibenarkan.

Bukankah filosuf ini semula dengan penuh semangat mendukung rejim Nazi di bawah kepemimpinan Adolf Hitler? Akibat dukungan ini, Heidegger masih dilarang mengajar selama beberapa tahun pasca PD (Perang Dunia) II, gara-gara keterlibatannya dalam politik, sekalipun hanya sebentar.[1] Tetapi sebagai seorang filosuf yang jelas intelektual, sikap mendukung sebuah rejim fasistik ekspansif yang dikutuk seluruh dunia beradab sampai hari ini, memang patut dipertanyakan.

1.SoekarnoKasus lain yang lebih ringan berkaitan dengan masalah kebudayaan politik Indonesia, adalah sikap H.B. Jassin, Wiratmo Sukito, dan Trisno Sumardjo yang mohon bimbingan dan petunjuk kepada Presiden Soekarno dalam upaya mereka untuk menyempurnakan pengembangan kebudayaan nasional atas dasar filosofi Pancasila dengan haluan Manipol-Usdek,[2] merupakan sebuah pengkhianatan intelektual atau keterpaksaan manusiawi pada saat pendukung Manifes Kebudayaan sedang diganyang habis-habisan oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), di mana Pramudya Ananta Toer sebagai salah seorang tokoh utamanya? Jika orang memakai kaca mata hitam putih, atau penganut idealisme mutlak, bisa saja sikap ketiga tokoh ini adalah sebuah pelacuran. Tetapi dunia ini bukanlah hitam putih, sehingga sebuah tingkat kearifan tertentu sangat diperlukan sebelum orang memberikan penilaian yang konklusif terhadap sebuah fenomenon manusia.

Dengan sedikit pendahuluan ini, saya ingin mencoba menelusuri jejak-jejak kebudayaan politik Indonesia kontemporer untuk melihat sampai di mana dan apa akibatnya jika pengkhianatan kaum intelektual itu benar-benar terjadi.

Intelektual modern Indonesia: antara pengkhianat dan pahlawan (I)

Terlebih dulu saya akan memberikan batasan yang longgar kepada sosok siapa yang dapat dikategorikan sebagai kaum intelektual. Definisi yang kaku dan ketat tidak perlu, sebab hanyalah akan mempersempit ruang analisis kita. Benda misalnya menghubungkan kaum intelektual itu tidak saja kepada para pendeta yang pandai menulis, tetapi juga kepada kelompok terpelajar Perancis pada saat karyanya La Trahison des Clercs diterbitkan pada 1927 untuk membedakannya dengan golongan awam.[3] Dalam kamus Bahasa Perancis, perkataan clercs memang tidak saja mengandung makna rohaniwan, tetapi juga berarti orang terpelajar (lerned man) atau sarjana (scholar) pada umumnya.[4]

Yang dimaksudkan Benda dengan kaum intelektual tentu bukan golongan terpelajar biasa, sebab nama-nama besar seperti Descartes, Vico, Spinoza, Renan, Hegel, Goethe, Nietzsche, dan banyak yang lain dalam sejarah modern Eropa disebut dalam halaman-halaman karya La Trahison di atas. Untuk Indonesia, kita dapat pula memasukkan sebagian besar tokoh pergerakan nasional sejak permulaan abad ke-20 sampai proklamasi 1945 ke dalam golongan intelektual-aktivis, karena kondisi masyarakat terjajah telah “memaksa” mereka tampil sebagai aktivis, demi kemerdekaan bangsa. Rata-rata mereka menguasai beberapa bahasa asing, sehingga akses untuk literatur dunia sangat memungkinkan untuk tampil sebagai kaum intelektual yang berbobot dengan wawasan yang sangat luas.

Dalam pada itu patut pula dicatat dari Benda adalah penekanannya tentang  moral seorang pemimpin yang harus menyatu dalam diri seorang intelektual, bukan hanya mengandalkan ilmu pengetahuan.[5] Dari sisi ini terasa ada nilai universal yang harus diakui dan dipedomani bersama. Dengan kaca mata moral inilah kita dapat mengatakan apakah seorang intelektual berkhianat, tertipu, terpaksa, naïf, atau tidak faham medan pergumulan sehingga salah mengambil langkah, misalnya. Kemudian  atribut lain yang perlu ditambahkan bagi seorang intelektual, di samping terpelajar, dia harus punya kepekaan dan komitmen terhadap masalah-masalah besar yang menyangkut manusia dan kemanusiaan, tanpa diskriminasi. Dalam ungkapan lain, hati nuraninya harus hidup, peka, dan berfungsi secara prima. Sekalipun dia misalnya seorang warga suatu negara, wawasan kemanusiaannya haruslah mondial, tidak dibatasi oleh dinding-dinding geo-politik sebuah bangsa dan negara tertentu. Dengan demikian seorang intelektual sejati dalam perspektif ini tidak mungkin menganut faham “right or wrong, my country.”

2.Agus_SalimDalam masalah ini memang bisa terjadi benturan dengan kaum nasionalis yang menjadikan nasionalisme sebagai sebuah ideologi negara-bangsa, bahkan sebagai agama: hidup mati untuk tanah air. Dalam masalah ini terdapat perbedaan yang mendasar antara H.A. Salim dengan Soekarno pada tahun 1920-an. Soekarno pernah menulis: “Maka tidak lebih dari wajibmu apabila kamu memperhambakan, memperbudakkan dirimu kepada Ibu Indonesia, menjadi putra yang mengikhlaskan setiamu kepadanya.” Bagi Salim kalimat semacam ini sudah melampaui batas, sebab “… Atas nama tanah air… bangsa Perancis dengan gembira menurutkan Lodewijk XIV, penganiaya dan pengisap darah rakyat itu, menyerang, merusak, membinasakan negeri orang dan rakyat bangsa orang, sesamanya manusia.”[6] Salim menekankan bahwa “Cinta kepada tanah air, agama, karena Allah Ta’ala dan menuruti perintah Allah belaka.”[7] Dengan bingkai ini, menurut Salim, nasionalisme dapat dikawal oleh prinsip-prinsip moral transendental agar tidak menjadi berhala dan imperialistik.

Untuk sejarah modern Indonesia, saya ingin mengusulkan Hatta sebagai puncak intelektual-aktivis yang tetap menjaga martabat dan kualitas moralnya sampai ke liang lahat. Tokoh-tokoh lain seperti Salim, Soekiman, Natsir, Tan Malaka, Sjahrir, Wilopo, Kasimo, Mononutu, Roem, Soedjatmoko, Herman Johanes, Palar, dan sederet nama yang lain menyusul sesudahnya. Sepengahuan saya, Hatta hanyalah dinilai cacat oleh kaum komunis Indonesia, sebab alat nilai mereka semata-mata kaca mata politik kekuasaan. Hatta dianggap tokoh penghalang terbesar bagi pencapaian tujuan politik mereka di Indonesia.

Pertanyaan yang cukup rumit kemudian adalah: bagaimana Bung Karno, Ali Sastroamidjojo, Leimena, Idham Chalid, Subandrio, dan para pemberi legitimasi terhadap sistem DT (Demokrasi Terpimpin,1959-1966) yang membunuh kebebasan manusia, sesuatu yang mutlak bagi kaum intelektual? Bukan saja telah membunuh kebebasan, tetapi telah menyeret Indonesia menjadi sebuah negara terkucil dan tidak bebas lagi dalam menentukan arah politik luar negerinya. Bagaimana pula  D.N. Aidit, Lukman, dan Njoto yang mengagungkan negara asing karena seideologi? Poros Jakarta-Beijing yang sangat populer pada era itu, apakah bukan sebuah pengkhianatan terhadap doktrin politik luar negeri bebas-aktif Indonesia?

3.Pramoedya Ananta ToerKalau di kalangan budayawan dan seniman seperti Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, dan sekompi nama yang lain, siapa mereka bila diukur dalam bingkai moral kemanusiaan? Apakah dari segi moral, menjadikan sastra sebagai kuda tunggangan politik dapat dibenarkan? Kemudian mereka juga tega menyaksikan nyawa manusia yang belum tentu bersalah akan binasa dalam tragedi 1 Oktober yang didahului oleh isu kudeta DD (Dewan Djenderal)? Tindakan pre-emptive strike, di mata Aidit, perlu dilakukan, demi menyelamatkan revolusi yang tak kunjung selesai dengan membunuh lebih dulu para jenderal Angkatan Darat. Penelitian terakhir yang lebih detil barangkali akan semakin menyingkapkan tabir misteri tragedi berdarah itu. Karya Victor M. Fic sangat rinci menggambarkan tentang peran PKI di bawah pimpinan Aidit dalam tragedi berdarah itu. Fic menggunakan dua istilah untuk Aidit sebagai the progenitor (otak utama, nenek moyang) dan the ruthless promoter (pelopor yang kejam) dari kudeta komunis yang gagal itu.[8] Adapun kemudian Orde Baru menzalimi mereka dan anak cucunya adalah perkara lain yang tidak boleh mengaburkan fakta di lapangan, sekalipun hasil penelitian Fic masih perlu dikaji ulang.

Untuk Bung Karno khususnya, saya tidak bisa mengatakan bahwa dia sebagai intelektual-aktivis telah mengkhianati negara yang didirikannya dengan susah payah. Betapa pun banyak kritik yang dialamatkan kepadanya, kesalahan politiknya masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan jasanya yang luar biasa terhadap Indonesia. Konsep nation and character building berasal dari teori dan karyanya. Ada pun tuduhan tentang perannya dalam tragedi 1 Oktober 1965 yang membunuh beberapa jenderal dan perwira A.D., perlu diteliti secara lebih cermat dan objektif berdasarkan dokumen-dokumen yang tersedia. Ini penting sekali, agar masyarakat tidak terus berada dalam tanda tanya tentang masalah krusial itu. Sekiranya Bung Karno memang sudah tahu sebelumnya bahwa akan terjadi pembunuhan itu, dan ia tidak berupaya mencegahnya karena termakan isu DD, maka dari sisi moral kita sangat-sangat menyayangkan. Sebagai manusia biasa, demi mempertahankan kekuasaan, Bung Karno bukanlah bebas dari kesalahan yang ternyata berakibat sangat fatal bagi bangsa ini secara keseluruhan. Dalam buku peringatan 100 tahun Bung Karno, saya menulis tentang sikap yang terbaik dalam menilai pemimpin yang sudah wafat:

“Bagaimana sikap kita yang terbaik dalam menilai para pemimpin yang telah tiada? Menurut hemat saya, sikap yang terbaik adalah dengan menghargai kebaikan dan jasa-jasa mereka dan kemudian menilai secara objektif kelemahan dan kekurangan mereka untuk dijadikan cermin. Betapa pun hebatnya seorang pemimpin, pikiran dan gagasannya pasti terikat dengan ruang dan waktu. Oleh sebab itu, kita wajib mengembangkan sikap kritis tetapi tulus terhadap pikiran, ide, dan doktrin siapa pun, termasuk mereka yang kita kagumi. Hanya dengan cara inilah sebuah bangsa dapat meraih tingkat kedewasaan spiritual dan intelektual. Kultus individu yang kadang-kadang masih muncul juga ke permukaan sejarah modern Indonesia adalah pertanda ketidakpercayaan diri. Dari sudut pandangan agama, kultus individu pastilah menjurus kepada perbuatan syirik yang dimurkai Allah”.[9]

Tetapi beberapa jam sebelum pembantaian pimpinan AD itu terjadi, sekitar jam 23.00 tanggal 30 September 1965 di depan Musyawarah Teknik di Senayan, Bung Karno melalui perlambang cerita Mahabrata dalam pewayangan berkata:

4.Mahabrata“Ini cerita Mahabrata. Ada pertentangan yang hebat antara dua negara, negara Hastina dengan negara milik Pandawa. Dus negara negara ini konflik hebat. Tetapi orang-orang di Hastina, atau lebih tegas lagi pemimpin-pemimpin di Hastina, panglima-panglima di Hastina itu sebetulnya masih keluarga daripada pemimpin-pemimpin dan panglima-panglima di Pandawa. Jadi masih saudara satu sama lain. Arjuna yang harus mempertahankan negeri Pandawa, yang harus terus bertempur dengan orang-orang Hastina, Arjuna berat dia punya hati. Karena dia melihat di barisan tentara Hastina itu banyak ipar-iparnya sendiri. Ipar-ipar, oleh karena Arjuna itu isterinya banyak lo. Banyak ipar-iparnya sendiri, banyak ia punya keponakan-keponakan sendiri, banyak ia punya om-om sendiri, banyak ia punya tante sendiri. Lo, memang di sana pun ada wanita yang berjuang, Saudara! Bahkan guru dia adalah di sana itu, guru peperangan, yaitu Durna, ada di sana. Arjuna lemas, lemas, lemas. Bagaimana aku harus membunuh saudaraku sendiri, bagaimana aku harus membunuh kawan lamaku sendiri, bagaimana aku harus membunuh guruku sendiri, bagiamana aku harus membunuh sekandung sendiri? Karena Suryaputra itu sebetulnya, ya, keluar sama-sama dari satu ibu. Bagaimana aku harus membunuh iparku sendiri? Arjuna lemas.

Kresna memberi ingat kepadanya. Arjuna, engkau ini ksatria. Apa tugas ksatria? Tugas ksatria adalah berjuang. Tugas ksatria adalah bertempur, kalau perlu. Tugas ksatria adalah menyelamatkan, mempertahankan tanah airnya. Ini adalah tugas ksatria. Ya benar, di sana itu engkau punya saudara sendiri, engkau punya ipar sendiri, engkau punya om sendiri, engkau punya tante sendiri, engkau punya guru sendiri ada di sana, tetapi jangan lupa tugasmu sebagai ksatria. Kerjakan engkau punya kewajiban sebagai ksatria. Karmane, fadikaraste, mapalesyu, kadatyana. Kerjakan engkau punya kewajiban, tanpa menghitung-hitung untung atau rugi. Kewajibanmu, kerjakan![10]

Dahsyat bukan! Terkesan akan terjadi sesuatu yang luar biasa di Indonesia, sesuatu yang sudah diisyaratkan Subandrio jauh sebelumnya, seperti yang akan saya kutip sebentar lagi.

Kemudian nama-nama Ali Sastroamidjojo, Leimena, Idham Chalid, Soebandrio, dan lain-lain, pada masa DT hanyalah dalam posisi pengiring belaka dalam gerak kompetisi manipolis yang menguasai panggung politik Indonesia pada era itu. Saya belum punya bukti bahwa tiga nama pertama sudah tahu bahwa akan berlaku pembunuhan keji pada 1 Oktober itu. Soebandrio bolehjadi sudah tahu sebelumnya bahwa peristiwa berdarah itu akan berlaku berdasarkan laporan harian Duta Masyarakat, sembilan bulan sebelum tragedi:

“Wakil PM/Menlu Dr. Subandrio mengatakan bahwa dalam tahun 1965 ini mungkin akan terjadi, di mana kawan-kawan seperjuangan akan menjadi lawan, apa yang sekarang revolusioner akan menadi kontra revolusi dan reaksioner. Kita mungkin akan terpaksa berpisah dengan sahabat-sahabat pribadi dan ‘comrades in arms’. Menghadapi kemungkinan ini, kita sebagai manusia sudah barang tentu merasa sedih. Akan tetapi sebagai abdi revolusi kita tidak bisa berbuat lain, hal itu terpaksa kita lakukan demi keselamatan revolusi kita.”[11]

Isyarat Soebandrio ini cukup jelas akan ke mana mata pedang revolusi itu  diarahkan, mirip dengan cerita Mahabrata di atas. Sayang sekali itu tidak dicermati secara sungguh-sungguh oleh aparat kita pada waktu itu, sampai meledaklah tragedi kemanusiaan yang dahsyat itu.

Akan halnya Ali sebagai salah seorang tokoh PI (Perhimpunan Indonesia) di negeri Belanda tahun 1920-an bersama Hatta, Sjahrir, Mononutu dan lain-lain, memang mengherankan mengapa dia sampai terseret dalam arus manipolis yang panas dan brutal itu. Dia seorang intelektual-aktivis dengan segudang pengalaman politik: menteri, duta besar, perdana menteri sampai dua kali, tokoh Konferensi Asia-Afrika, dan diplomat ulung. Sayang sekali dalam otobiografinya Tonggak-tonggak di Perjalananku yang terbit pada 1974,[12] karier politiknya yang krusial pada era DT tidak disertakan, sehingga kita tidak tahu persis mengapa dia sampai “hanyut” dalam gelombang yang telah membunuh demokrasi itu. Apakah Ali  menganggap era itu bukan bagian dari tonggak perjalanannya seperti judul karyanya itu? Masih terlalu banyak sisi gelap yang harus diungkap dalam sejarah kontemporer Indonesia.

5.KomunismeKetika sampai kepada komunisme, saya mungkin tidak selalu stabil karena sudah memahami benar betapa licik dan kejamnya mereka dalam mencapai tujuan politiknya. Apalagi kemudian mereka mendapat payung pelindung dari Bung Karno. Tetapi yang saya gagal memahami adalah kesetiaan mereka yang tanpa batas kepada yang serba asing, seperti terwakili oleh puisi Virga Belan di bawah ini:

PENERBANGAN MALAM KE LENINGRAD

Dari Sochi ke daerah utara
Tidak terbentang segara
Hanya langit jingga
Dan udara malam raya.

Dan kabut tersapu di hadapan
Dan tertinggallah buih di lautan
Bumi Soviet ialah padang terluas punya dunia
Dan akulah sang musafir, dalam kelana.

Seorang di sampingku berkata: Leningrad
Dan Kujawab: Cukup kukenal, kamerad!
Ke sana!
Ke pusat api yang pernah menjulang dalam sejarah!
Ke sana!

Ke tempat kaum buruh menumbangkan kekuasaan durjana!

Ke Leningrad

Ya, ke Leningrad!

Kota revolusi daerah utara!

Juli 62.[13]

­


Prof Ahmad Syafii Maarif adalah seorang ulama, ilmuwan dan tokoh pendidik Indonesia. Beliau juga merupakan mantan Ketua Umum Muhammadiyah dan Presiden World Conference on Religion for Peace. Di bentangkan di Taman Ismail Marzuki pada 22 Nopember 2005


[1] Lih. Ian P. McGreal (ed.), Great Thinkers of the Western World. New York: Harper Collins, 1992, hlm. 519.

[2] Lih. D.S. Muljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI DKK. Bandung: Mizan: 1995, hlm. 368. Naskah Manifes Kebudayaan adalah pernyataan para seniman dan cendekiawan Indonesia: Drs. H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Sukito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Muhamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S. Muljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Drs.Taufiq A.G. Ismail, Gerson Poyk, M.Saribi Afn,, Poernawan Tjondronagoro, Dra. Boen S. Oemarjati, pada tanggal 17 Agustus 1963 di Jakarta. Isi Naskah: Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan  yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai Bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami. (Lih. Prahara, hlm. 160). Kemudian atas kehendak PKI dan pengikutnya termasuk LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) yang bernaung di bawah PNI, Manifes Kebudayaan (mereka menyebutnya Manikebu), dilarang oleh Presiden Soekarno dalam pernyataannya tertanggal 8 Mei 1964 karena dianggap menyaingi Manipol. (Ibid., hlm. 355).

[3] Lih. pengantar Wiratmo Sukito terhadap karya Julien Benda, Pengkhianatan Kaum Cendekiawan, terj. Winarsih P. Arifin. Jakarta: Gramedia Pusatakan Utama, 1999, hlm. xii-xiii.

[4] Lih. J.E. Mansion (ed.), French and English Dictionary. New York: Charles Scribners’ Sons, 1977, hlm. C:31.

[5]Benda, op.cit., hlm. 131.

[6] Agus Salim, “Cinta Bangsa dan Tanah Air (Nasionalisme dan Patriotisme)” dalam Hazil Tanzil (ed.), Seratus Tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm. 346-347. Artikel Salim ini dimuat pertama kali dalam harian Fadjar Asia, 20 Juli 1928.

[7] Ibid., hlm. 349.

[8] Lih. Victor Miroslav Fic, Anatomy of the Jakarta Coup: October 1, 1965. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 271.

[9] Lih. Ahmad Syafii Maarif, “Soekarno (1901-1970): Antara Kebesaran dan Kekurangannya” dalam Iman Toto K. Rahardjo dan Herdianto WK (ed.), Bung Karno, Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku: Kenangan 100 Tahun Bung Karno. Jakarta: Grasindo, 2001, hlm. 143.

[10] Soekarno, Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno, 30 September 1965, Pelengkap Nawaksara. Jogjakarta: Ombak, 2005, hlm. 13-14.

[11] Duta Masyarakat, 5 Januari 1965, hlm. 1.

[12] Ali Sastroamidjojo, Tonggak-tonggak di Perjalananku. Jakarta: Kinta, 1974, tebal 586 halaman.

[13] Muljanto dan Ismail, op.cit. hlm. 228, dikutip dari Harian Rakyat, Minggu, 1 Desember 1963.

 

 

Contact Us
Islamic Renaissance Front
26th Floor Menara Maxis, Kuala Lumpur City Centre, 50088 Kuala Lumpur, Malaysia
Phone: +603-2615-7919
Fax: +603-2615-2699
Updated version: 2.39-20231022