Sedekah Perdamaian dari Muslim Progresif

July 27, 2013 by Hasnan Bachtiar

Main

Setelah fenomena 11 September 2001, stigmatisasi negatif terhadap Islam semakin menguat. “The religion of terror” menjadi jargon para pihak, dengan pelbagai kepentingan. Indonesia sendiri berduka dengan adanya Bom Bali, pada 2002. Mayoritas para sarjana studi Islam dan masyarakat, menyibukkan diri membahas tema Islamic conservatism yang belum berhenti terdengung hingga sekarang.

Sementara, lima belas tahun terakhir sejak pecahnya Reformasi 1998, konflik, kekerasan dan tindak intoleransi atas nama agama, meningkat tajam. Secara aktual, kelompok keagamaan minoritas, terusir secara sangat tidak manusiawi, dari beberapa kota di negeri ini. Peristiwa menyedihkan ini terjadi di Transito-Mataram, di Sampang-Madura, Cikeusik-Banten dan seterusnya. Beberapa saat yang lalu, juru bicara FPI (representasi Islam konservatif), Munarman, bertindak mengejutkan dengan menyiramkan air kepada lawan bicaranya, di salah satu diskusi televisi swasta yang ditonton seluruh masyarakat. Lalu bertubi-tubi sweeping disertai kekerasan dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam radikal atas nama menghormati bulan Ramadhan.

Pertanyaannya, bagaimana upaya masyarakat sipil yang berkhidmat untuk mewujudkan demokrasi yang berkeadaban? Secara lebih khusus, adakah sedekah perdamaian dari komunitas Muslim progresif untuk bangsa ini? Sebagai organisasi-organisasi Islam terbesar dan termaju di Indonesia dan di dunia, Muhammadiyah dan Nahdhatul ‘Ulama, terikat oleh tanggungjawab moral untuk menjawab persoalan ini.

Pemahaman KeIslaman

Sangat mungkin bahwa konservatisme suatu kelompok, dipengaruhi oleh kecenderungan skripturalisme, simplifikasi pemikiran keagamaan dan tendensi ideologis. Meskipun, banyak sekali hal lain seperti kondisi sosial, ekonomi dan politik yang sangat mempengaruhi orientasi keagamaan suatu kelompok masyarakat. Misalnya, modernisme, globalisasi, kebudayaan popular dan neo-imperialisme.

Tidak heran misalnya, pencarian makna tauhid (ushûl al-dîn) pada akhirnya tergerus menjadi sensitif kelompok (ushûl al-mazhab) dan fanatisme sempit. Kelompok tersebut, biasanya mengklaim telah mengikuti “syariat”, walau sesungguhnya yang diungkapkan adalah “fiqih” (pemahaman). Bahkan “fatwa” dan “tradisi” dianggap sebagai agama itu sendiri. Ini bukan sekedar ketidakjelasan, tetapi juga simplifikasi yang berlebihan (Jasser Auda, 2007; Hashim Kamali, 2013).

Dalam kasus yang spesifik, pelbagai materi khutbah dan pengajian yang diajukan, dengan penuh percaya diri dan lantang, telah disebut sebagai representasi dari Islam itu sendiri. Kelompok keagamaan yang memiliki tendensi yang sama, tentu akan mengapresiasi tanpa berpikir ulang. Sementara kaum awam, atas kurangnya wawasan keagamaan yang dimiliki, akan tunduk dalam ketidaktahuan. Taklid kontemporer pada akhirnya, hadir di permukaan dalam wujud “kebangkitan Islam”.

Padahal secara filosofis, kita butuh pemahaman yang komprehensif. Dalam bahasa agama, kerap disampaikan melalui istilah “kaffah” (wholeness). Tentu saja kaffah tidak akan pernah menyederhanakan agama, hanya sebagai teks-teks harfiah (letterlijk). Teks bukanlah Islam dan Islam bukanlah teks itu sendiri.

Ketika seorang mujtahid hendak menemukan suatu nilai dalam aspek ushûl al-dîn misalnya, maka segala sifat kemanusiaan yang dimiliki, membawanya menuju kesimpulan yang relatif, manusiawi dan terbuka untuk diperbarui. Dengan kata lain, atas sentuhan kemanusiaan, ushûl al-dîn menjadi ulûm al-dîn (pengetahuan keagamaan).

Karena Islam, “diketahui” melalui segala perangkat kemanusiaan, walau berasal dari sumber yang qath’i dalâlah wa qath’i subuth (valid secara isi dan transmisi), maka seorang pembacanya, patut disebut sebagai ahli pengetahuan keagamaan. Interpretasi atas al-Qur’an dan al-Sunnah, tetap merupakan suatu karya seorang mufassîr, bukan Islam yang turun dari langit.

Masalahnya, tatkala Islam yang disepakati bermakna keselamatan, apakah masih pantas mengafirmasi tafsir yang membenarkan kebencian, kekerasan dan intoleransi? Tentu bila seseorang fakih memaklumi bahwa, dirinya berhati-hati memahami agama, tidak akan mudah melakukan takfîr (pengkafiran), terlebih mengusir, menyakiti dan melakukan tindak laku yang dehumanistik terhadap mereka yang berbeda, atas nama menegakkan akidah sekalipun.

maqasid

Falsafah Keislaman

Pendekatan tekstual (bayani), bukanlah hal yang salah. Namun, kiranya validitas tekstual dan transmisional saja, belumlah lengkap untuk menyentuh jantung agama yang sesungguhnya, karena masih meragukan (dzanniyyah). Perlu didukung pula melalu pendekatan kefilsafatan (burhani) dan kebersihan batin (irfani), agar lebih mantap. Secara rasional-filosofis, kekerasan atas nama agama adalah hal yang menjerumuskan kepada jurang paradoksal. Tidak rasional kiranya Islam, mengajarkan kebencian. Begitu pula bagi hati yang lembut, mustahil untuk tega mengusir mereka yang papa dan tak berdaya, walau dianggap telah menyimpang.

Dalam rangka merengkuh jantung agama itu, ketiga pendekatan yang ada harus dioptimalkan. Sehingga ke depan, tafsiran keagamaan benar-benar melindungi dan menghormati harkat dan martabat manusia secara lebih manusiawi. Para mujtahid dan bahkan masyarakat Islam secara umum, harus mengerahkan seluruh kemampuannya, dalam rangka mewujudkan Islam yang rahmatan li al-‘alamin.

Memang benar, dalam khazanah Islam, relung agama ini telah dirumuskan dalam suatu bentuk maqâshid al-syarî’ah. Maqâshid ini, adalah prinsip-prinsip tentang perlindungan dan pemeliharaan pelbagai aspek, seperti agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Para ulama Islam klasik, seperti Abû al-Ma’âlî al-Juwainî, Abû Hâmid al-Ghazâlî, al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salâm, Shihâb al-Dîn al-Qarâfi, Syams al-Dîn ibn al-Qayyim dan Abû Ishâq al-Syâthibî telah mendiskusikan masalah prinsipil ini dengan sangat baik. Meskipun, kecenderungan berpikir tekstual, membawa mereka kepada jebakan kerancuan terhadap diskursus “dalil” yang terkadang bersifat hegemonik. Hirarkisme maqâshid adalah contoh, di mana struktur nalar tekstualis termanifestasikan.

Sebenarnya, maqâshid kini bukan sekedar prinsip-prinsip. Belenggu hirarkisme tekstualis, harus diperbarui dengan perspektif yang lebih integral. Karena itu, pemeliharaan terhadap kemuliaan agama, jiwa, akal, harta dan keturunan harus teruniversalisasi, sehingga segala perhatian tertuju kepada “pemeliharaan terhadap martabat kemanusiaan” dan “perlindungan terhadap hak asasi manusia” (Jasser Auda 2007: 23). Dengan demikian, apa yang diungkapkan al-Syâthibî dalam al-Muwâfaqât fî ‘Ushûl al-Syarî’ah tentang konsep ushûl al-dîn wa qawâ’id al-syarî’ah wa kullîyah al-millah atau fondasi agama, basis syariat dan kepercayaan yang universal, benar-benar mewujud secara nyata, tanpa khawatir tergerus oleh zaman (terbitan Dâr al-Ma’rifah, Beirut, t.th: 29).

Singkat kata, pembangunan kemanusiaan (human development) harus menjadi prinsip dan orientasi utama keberagamaan kita di masa kini. Kebebasan beragama dan berkeyakinan, kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial adalah maqâshid yang sifatnya qath’i dalalah, subuth dan falsafah. Secara historis, substansi ijtihad KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asyari, teguh berpijak pada prinsip-prinsip ini. Muhammadiyah dan Nahdhatul ‘Ulama yang mengapresiasi “fresh ijtihad”, sangat mengindahkan falsafah ini.

Pendidikan Keislaman

Namun masalahnya kini, tidak selesai dengan konsepsi. Kecenderungan keagamaan kontemporer yang membenarkan tindakan yang anti

kemanusiaan, menjadi lahan dakwah yang paling nyata bagi Muhammadiyah dan Nahdhatul ‘Ulama. Keduanya, harus mengambil bagian dalam rangka mendidik ulang umat. Baik mereka yang terindikasi dalam penyimpangan akidah, mereka yang salah ijtihad dan yang terlibat kepicikan pragmatisme politik, harus dirangkul melalui kebaikan dan cara yang baik pula.

Adalah Karen Amstrong, penulis buku Twelve Steps to a Compassionate Life (2009), menginspirasi kita semua untuk menebarkan welas asih dengan cara yang penuh welas asih. Upaya kebajikan itu, bisa menjadi dorongan bagi seluruh warga Muhammadiyah dan Nahdatul ‘Ulama untuk berlomba dalam kebaikan. Tarbiyah Islamiyah untuk tujuan pembangunan kemanusiaan dan mewujudkan perdamaian, adalah agenda utama yang sifatnya fardu ‘ain.

Pada akhirnya, melalui dakwah diskursif ini, semoga para pembaca, khususnya umat Islam yang masih memiliki akal sehat dan nurani, turut terlibat dalam bersedekah perdamaian. Marilah bersama Muhammadiyah dan Nahdhatul ‘Ulama, menjadi aktor-aktor perdamaian bagi bangsa Indonesia yang tengah ditimpa musibah. Semoga Allah melapangkan jalan kita.


Hasnan Bachtiar adalah peneliti di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) & Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Program Pascasarjana, University of Muhammadiyah Malang dan aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).




View original article at: https://irfront.net/post/opinion-features/sedekah-perdamaian-dari-muslim-progresif/