Quo Vadis Peradaban Islam?

April 7, 2015 by Prof Ahmad Syafii Maarif

1.Para1Titik-titik genting dalam perjalanan peradaban Islam telah terjadi ratusan kali selama masa yang panjang. Kali ini kita tidak akan mengulas tentang hal itu, tetapi akan membicarakan masalah yang tidak kurang gentingnya dalam bentuk pertanyaan: “Quo Vadis (Hendak Ke mana) Peradaban Islam?”

Jika ukuran yang dipakai adalah kemegahan duniawi yang ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin dahsyat dari masa ke masa, maka tanpa wahyu pun manusia bisa mewujudkan sebuah peradaban yang tinggi dan berwibawa. Lihatlah apa yang sedang berlaku di Barat, Jepang, dan Korea yang membangun peradaban duniawi tanpa hirau dengan wahyu. Ini adalah bukti empirik yang tak terbantahkan dari pernyataan kalimat kedua ini. Dunia Islam yang “mengaku” percaya kepada wahyu sebagai fondasi dan jangkar spiritual bagi bangunan peradaban malah tersingkir dalam ketidakberdayaan dan putusasa. Munculnya fenomena ISIS dan Boko Haram yang berkoar-koar atas nama wahyu dan menggoda sebagian anak muda yang frustrasi adalah bentuk ekstrem dari ketidakberdayaan dan kehilangan orientasi masa depan itu.

2.Para3(Right side)Jangan salahkan kaum Zionis yang bersorak-sorai menonton pertunjukkan manusia Muslim yang kehilangan arah ini. Semakin rapuh dunia Islam, semakin kuat posisi Zionisme, sekalipun ideologi ini adalah rasis yang anti-kemanusiaan. Didukung dengan dolar dan senjata oleh Amerika Serikat, Israel Zionis sebenarnya adalah kanker politik di kawasan Asia Barat Daya dan Afrika Utara. Ajaibnya, bangsa-bangsa Muslim yang sering bersengketa di kawasan itu tidak malu-malu berkawan dengan negara kanker ini. Iran dan Saudi Arabia yang sedang berebut hegemoni di sana, secara bergantian telah dan sedang melakukan perkawanan akrobatik itu, demi pragmatisme politik jangka pendek untuk keuntungan sesaat. Fenomena serupa ini berkali-kali berlaku dalam berbagai periode sejarah Islam, namun diulangi lagi dan lagi.

Adapun bayangan kelumpuhan masa depan akibat pragmatisme itu tidak lagi singgah di benak para elite Muslim di kawasan itu dan bahkan juga terlihat di berbagai belahan dunia yang lain. Sungguh sulit menyadarkan elite umat ini tentang bahaya prilaku sesat ini. Para ulama pun sibuk dengan ajaran-ajaran normatif yang tergantung tinggi di langit, sedangkan massa Muslim yang berserakan terkapar di muka bumi. Mereka kehilangan kompas dan sebagian besar hidup dalam lautan kemiskinan dan kesengsaraan. Pesan keras al-Qur’an berupa: “Agar harta itu tidak hanya berputar di kalangan hartawan di antara kamu,” (Surah al-Hasyr ayat 7)) sudah dianggap angin lalu saja oleh bangsa-bangsa kaya di kalangan umat Islam yang suka sekali bersengketa.

Jika kita bertanya kepada al-Qur’an tentang prilaku Muslim yang merasa benar di jalan yang sesat ini, jawaban yang akan diberikan mungkin sebagai berikut: “Dan janganlah kamu bertingkai-pangkai (bermusuhan satu sama lain), karena kamu akan jadi lemah dan kekuatanmu akan sirna.” (Terjemahan sebagian ayat 46 surah al-Anfâl). Kerapuhan internal inilah sebagai penyebab utama mengapa bangsa-bangsa Muslim menjadi mainan pihak lain. Peringatan al-Qur’an ini sangat jelas tanpa perlu penafsiran yang berliku: tinggalkan sengketa karena ujungnya adalah kelumpuhan lahir batin atau menjadi keok dalam perlombaan peradaban.

Peringatan lain kepada orang beriman yang tidak kurang kerasnya, terbaca dalam ayat 105 surat Âli ‘Imrân yang artinya: “Dan janganlah kamu [orang beriman] seperti mereka yang telah berpecah-belah dan bersilang-sengketa sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan. Dan bagi mereka siksa yang dahsyat.”

Persis apa yang sedang berlaku sekarang di dunia Islam berupa perpecahan dan sengketa yang tak habis-habisnya atas nama nasionalisme atau atas nama apa saja yang tidak harganya di mata al-Qur’an. Akibatnya dijelaskan oleh ayat: perpecahan dan sengketa di kalangan umat beriman pasti mengundang siksa yang dahsyat. Semoga kita belum sampai di situ! Peradaban Islam memang sedang berada dalam suasana letih, sementara aktor-aktornya punya hobi menari di atas mayat temannya sendiri. Alangkah kumuh dan nistanya pertunjukan semacam ini.

3.Para8Jika kita perhatikan menusia beriman yang thawaf mengelilingi ka’bah sepanjang jam, siang malam tanpa henti, sepanjang tahun, batin kita merasa bahagia tentang betapa damainya umat Islam yang datang dari berbagai bangsa dan kawasan itu. Tetapi tuan dan puan kemudian harus mengelus dada bahwa perdamaian itu hanya berlaku saat berada di dekat ka’bah. Setelah pulang ke tanah airnya masing-masing, umat yang thawaf itu kembali lagi dimainkan oleh para elite bangsanya masing-masing. Sentuhan ka’bah sebagai pusat spiritual dunia Islam sirna begitu saja, sikap khusyu’ ketika thawaf mengitari ka’bah hilang tak berbekas setelah kembali ke lingkungan kultur masing-masing yang telah tercemar. Maka, quo vadis peradaban Islam?

Lalu, apa jalan keluarnya? Resepnya sederhana saja: pertama, tinggalkan dan tanggalkan atribut-atribut ciptaan sejarah sebagai buah dari perebutan kekuasaan di kalangan Muslim Arab kelasik yang melahirkan sunnisme, syi’isme, kharijisme, dan cicit-cititnya yang telah berkubang dalam sengketa dan perpecahan dalam bilangan kurun yang panjang. Kedua, ajarkan pesan dua ayat di atas dan ayat-ayat lain yang senada kepada anak didik tingkat dasar dan menengah bahwa persengketaan dan perpecahan di kalangan orang beriman adalah pengkhianatan terhadap al-Qur’an. Bagi saya sunnisme, syi’isme, dan kharijisme sebagai produk politik kekuasaan harus ditumbangkan diganti dengan sebuah Islam yang setia kepada al-Qur’an dan kepada kenabian: Islam yang sejati. Jika otak kita bersih dan hati kita bening, saya tidak melihat kesulitan apa pun untuk melangkah ke jurusan yang benar itu.

Tanpa terciptanya sikap radikal dan revolusioner semacam ini, peradaban Islam yang adil dan asli yang sering diimpikan dan diwacanakan itu sebagai antitesis terhadap peradaban sekuler dan ateistik yang menyesakkan nafas sekarang ini tidak akan pernah turun ke bumi kenyataan. Atau kita mohon saja kepada Allah agar generasi kita yang gagal ini diganti dengan generasi lain yang tidak bahlul seperti kita. Bukan mengada-ada kemungkinan ganti generasi ini. Al-Qur’an memberi isyarat untuk itu, seperti terbaca pada potongan ayat 38 dalam surat Muḥammad (47) yang artinya: “Dan jika kamu berpaling, Allah akan menggantikan kamu dengan kaum yang lain selain kamu, kemudian mereka tidak seperti kamu [yang gagal].”

Isyarat semacam ini semestinya menjadi cambuk bagi kita yang hidup sekarang ini untuk mengoreksi diri secara jujur, terbuka, dan tulus. Dengan cara ini kita akan menjadi sadar bahwa kelakuan menyimpang atas nama golongan, mazhab, dan aliran yang merusak persaudaraan kita selama ini harus diluruskan dan dibetulkan secara berani dengan menjadikan al-Qur’an sebagai hakim tertinggi. Buang jauh-jauh subjektivisme latar belakang yang memicu sengketa, permusuhan, dan gesekan sesama kita sekian ratus tahun yang tidak lain selain berawal dari kultur rebut kuasa duniawi.

Kemungkinan membangun peradaban bersendikan wahyu sangat terbuka. Manusia modern yang tengah putus tali jangkar transendentalnya tidak semakin bahagia. Bahkan sedang bergerak ke arah hari-kiri yang mencemaskan. Kearifan global telah lama sirna. Manusia sebagai homo sapiens belum kunjung muncul di kalangan orang yang mengaku beragama atau pun yang tidak beragama. A.J. Toynbee dengan sangat menarik menulis tentang sosok homo sapiens ini:

4.Para13“Kita telah memilih label untuk jenis kita, bukan homo faber, manusia si teknisi, tetapi homo sapiens, manusia si bijak. Kita belum layak menyandang gelar kehormatan homo sapiens itu. Sebegitu jauh, kearifan yang kita tunjukkan dalam mengawasi diri kita dan dalam mengatur hubungan antara satu sama lain, sedikit sekali. Sekiranya kita berhasil bertahan hidup bersama revolusi teknologi sekarang ini, pada akhirnya bolehlah kita menjadi homo sapiens dalam hakekat dan dalam nama.”

(Lih. A.J. Toynbee, Surviving the Future. New York-London: Oxford University Press, 1973, hlm. 44).

Sejarawan Inggris ini bersikap skeptik dengan arus modernitas yang dangkal dan sepi dari dimensi spiritualitas. Modernitas, tulis yang lain, telah menindas gagasan besar tentang Tuhan selama ratusan tahun. (Redaksinya tidak persis, tetapi kandungannya sama). Pertanyaannya adalah: kapan lagi umat yang mengaku beriman dan berimam kepada nabi dan rasul yang bertugas menebarkan “rahmat bagi alam semesta” (al-Qur’an surat al-Anbiyâ’: 107) mau bangkit dari tidur nyenyaknya selama sekian abad? Tipe manusia homo sapiens semestinya lahir dari rahim mereka yang punya klaim serba besar dan dahsyat dalam sejarah. Pertanyaan quo vadis peradaban Islam harus diganti dengan pernyataan: ini kami datang dengan peradaban baru yang segar dan adil buat semua, di dalamnya bumi dan Langit telah berdamai dalam sebuah keseimbangan yang rapi dan elok. Allâhu a’lam.


Syafii MaarifProf Ahmad Syafii Maarif adalah seorang ulama, ilmuwan dan tokoh pendidik Indonesia. Beliau juga merupakan mantan Ketua Umum Muhammadiyah dan Presiden World Conference on Religion for Peace.

 




View original article at: https://irfront.net/post/opinion-features/quo-vadis-peradaban-islam/