Hamka, Manusia Merdeka Pencari Kebenaran – Bahagian II
June 23, 2014

Hamka juga berbicara tentang kaitan ilmu dan filsafat yang keduanya diperlukan manusia untuk memahami ‘yang ada.’ Ilmu dan filsafat bertakhta dalam akal manusia. Tetapi jangkauan ilmu itu terbatas yang kemudian dibantu dan diteruskan oleh filsafat. Maka Hamka berdalil: “ …akhir dari ilmu adalah awal filsafat.” Posisi akal dalam kehidupan manusia sangat sentral. Undang-undang yang terdapat di alam semesta tidak mungkin difahami manakala akal tidak difungsikan dengan baik.

Hamka menulis: “Tidak syak lagi bahawasanya alam ini diatur dengan undang-undang yang dapat diterima oleh dasar hukum yang ada dalam akal kita sendiri. Kalau undang-undang yang tidak dapat diterima oleh akal; itu pun lebih mustahil. Sehingga bolehlah ditegaskan bahwasanya memungkiri adanya akal, sama artinya dengan memungkiri adanya alam.”

Tetapi akal dengan segala kehebatan dan kedahsyatannya juga punya keterbatasan, seperti yang telah disinggung di atas. Manakala akal terbentur, maka datanglah wahyu untuk membantunya. Hamka menulis: “Setinggi-tinggi akal hanya dapat mengetahui khasiat barang yang ada, tetapi tak sanggup mencipta. Sekali lagi terlompatlah dari mulut: ‘Allah’…Beribu ahli fikir, beribu failasoof, beribu sarjana, membanting fikiran buat merenung dan menyelidiki ‘siapa dia’. Maka datanglah Nabi-nabi dan Rasul-rasul. Utusan dari yang memegang dan mencipta segala rahasia itu, menyampaikan jawab itu kepada seluruh pri-kemanusiaan. Dengan lidah mereka disampaikan: Ana Allâh lâ ilâha illâ ana (Akulah Allah. Tiada Tuhan, melainkan Daku). Itulah jawaban diberikan wahyu kepada akal manusia yang senantiasa bertanya dan bertanya, tanpa henti. Dan itulah filsafat yang pada akhirnya juga menghadapi jalan buntu untuk menjawab pertanyaan tentang sumber utama dari segala ‘yang ada ini.’

Ikuti Hamka dalam menggambarkan masalah ruwet dan pelik ini. “Kita berdiri ke tepi laut. Kita lihat ombak bergulung. Lalu kita bertanya:

-Mengapa ombak itu bergulung?

“Karena udara”

-Mengapa udara bergerak?

“Karena hawa panas”

-Dari mana datang panas itu?

“Dari matahari”

-Siapa yang meletakkan panas pada matahari?

……………………Diam!

tafsir-alazharBegitulah metode dan strategi Hamka dalam upaya menjelaskan ajaran Islam tentang iman kepada Allah dan masalah-masalah lain yang bercorak eskatologis, sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh para ulama Dunia Melayu. Hamka dengan wawasan keilmuan dan kebudayaannya yang luas telah mengenalkan sebuah pembaruan dalam memahami dan menafsirkan ajaran-ajaran agama yang memang tidak selalu mudah dicernakan. Maka tidaklah salah manakala Hamka dapat dikategorikan sebagai seorang pembaharu (mujaddid/reformer) yang berpengaruh. Tafsir al-Qur’an lengkap 30 juz dengan nama Tafsir al-Azhar adalah bukti lain tentang kepakarannya sebagai seorang mufassir.

Masih tentang masalah taqlid sebagai musuh manusia berakal. Dalam menafsirkan ayat 36 dari surat al-Isrâ’ yang melarang manusia bersikap taqlid, Hamka menulis: “Ayat ini termasuk sendi budi-pekerti Muslim yang hendak menegakkan pribadinya. Kita dilarang Allah menurut saja. “Nurut” menurut bahasa Jawa, dengan tidak menyelidiki sebab dan musabab. Sebagai seorang yang dilatih berfikir merdeka sejak masa muda, baik oleh ayahnya, maupun karena bacaan, Hamka adalah pembela prinsip ijtihad dalam memahami agama agar tetap segar dan dinamis dalam memberikan jawaban terhadap tuntutan zaman yang senantiasa berubah. Penjelasan Hamka berikut ini penting untuk dicermati:

Terang di sini bahwa orang yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain, baik nenek-moyangnya karena kebiasaan, adat-istiadat dan tradisi yang diterima, atau keputusan dan ta’ashshub pada golongan membuat orang tidak lagi mempergunakan pertimbangan sendiri. Padahal dia diberi Allah alat-alat penting agar dia berhubungan sendiri dengan alam yang di kelilingnya. Dia diberi hati, atau akal, atau fikiran untuk menimbang buruk dan baik. Sedang pendengaran dan penglihatan adalah penghubung  di antara diri, atau di antara hati sanubari kita dengan segala sesuatu untuk diperlihatkan  dan dipertimbangkan mudharat dan manfaatnya, atau buruk dan baiknya.

Agar analisis kita lebih utuh, maka makna ayat di atas perlu dikutip seluruhnya sesuai dengan terjemahan Hamka: “Dan janganlah engkau menurut saja dalam hal yang tidak ada bagi engkau pengetahuan padanya. Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati, tiap-tiap satu daripadanya itu akan ditanya.” Nasehat Hamka kepada kita: “Maka wajiblah kita beragama dengan berilmu.” Alam Minangkabau sebelum datangnya gelombang pembaruan faham Islam dilukiskan Hamka dalam kalimat: “Minangkabau khususnya dan Sumatera umumnya, karam di dalam kebekuan agama. Sejak agama Islam masuk dahulu, belumlah bertemu dengan inti agama. Dasar paham ialah paham Sufi Wihdatul Wujud, beragama ialah masuk Suluk. Hukum Fiqhi terikat oleh taqlid buta. Statis!”

syafii-maarif.pluralismaSelanjutnya, kita bicarakan masalah pluralisme agama yang di kalangan sebagian umat Islam dinilai haram, termasuk oleh Majelis Ulama Indonesia dalam sebuah fatwanya pada   tahun 2005. Di era Hamka, masalah pluralisme memang belum diperbincangkan publik di Indonesia. Lalu, bagaimana kira-kira posisi Hamka berkaitan dengan masalah krusial ini? Untuk menjelaskan masalah ini, kita perlu melihat bagaimana penafsiran Hamka terhadap dua ayat dalam dua surat: ayat 62 surat al-Baqarah dan ayat 69 surat al-Mâidah yang banyak menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam. Dua ayat ini perlu pula dikaitkan dengan ayat 85 dalam surat Âli ‘Imrân yang maknanya: “Dan barangsiapa yang menginginkan selain daripada agama Islam menjadi agama, maka sekali-kali tidaklah akan diterima dari padanya. Dan dia pada  hari akhirat adalah seorang dari orang-orang yang rugi.”

Terjemahan Hamka atas ayat 62 al-Baqarah adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi’in, barang- siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita.” Dengan substansi yang sama, tetapi dengan redaksi yang sedikit berbeda, ayat 69 surat al-Mâidah, diterjemahkan Hamka: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang  Yahudi dan (begitu juga) orang Shabi’un, dan Nashara, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan diapun mengamalkan yang shalih. Maka tidaklah ada ketakutan atas  mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita.”

Dalam menjelaskan ayat 69 surat al-Mâidah, Hamka mengaitkan dengan prinsip toleransi Islam terhadap pengikut agama lain: “Inilah salah satu ayat yang mengandung toleransi besar dalam Islam. Terdapatlah di sini bahwa Islam membuka dada yang lapang bagi sekalian orang yang ingin mendekati Tuhan dengan penuh iman dan amal shalih.” Dalam memberi keterangan atas ayat 62 surat al-Baqarah, Hamka menulis: “Inilah janjian yang adil dari Allah kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepandan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan.” Kemudian Hamka dengan santun menolak pendapat bahwa ayat ini telah dihapuskan (mansûkh) oleh ayat 85 surat Âli ‘Imrân yang artinya: “Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah akan diterima dari padanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi.”

Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 itu sebagai berikut: “Ayat ini bukanlah menghapuskan (nâsikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmannya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih.”

Sedikit catatan saya tentang penjelasan Hamka ini, bahwa dua ayat di atas hanya menyebut tiga syarat saja untuk mendapat ganjaran dari Allah dan terbebas dari siksanya: beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, dan beramal saleh, tidak disebut harus percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. Allâhu a’lam! Tetapi dengan penjelasan Hamka bahwa “…tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka…” terbukalah kemungkinan tafsiran yang lebih luas kepada pengakuan tehadap pluralisme agama, sekalipun Hamka tidak menyebutkan dalam tafsirnya. Hamka menggunakan ungkapan: “…toleransi besar dalam Islam,” seperti yang baru saja dikutip di atas.

Hamka dan IRF (Islamic Renaissance Front) di Malaysia

Hamka dengan prinsip kemerdekaan akal dan semangat anti taqlidnya telah mengembara cukup jauh sebagai seorang pencari kebenaran, melampaui kebanyakan ulama yang sezaman dengannya. Sekalipun belum sampai mempertanyakan tentang kotak-kotak sempit sunnisme atau syi’isme sebagai produk sejarah, sebagaimana yang telah lebih dari dua puluh tahun saya lontarkan, Hamka telah membuka jalan bagi intelektual Muslim untuk terus bergerak dan bergerak dalam upaya mencari terobosan pemikiran Islam yang lebih dekat kepada semangat autentik al-Qur’an agar manusia berfikir tanpa henti.

Kondisi umat Islam sejagat yang masih berada di buritan peradaban adalah fakta telanjang tentang betapa kita tidak setia lagi kepada Islam al-Qur’an atau Islam kenabian yang mengharuskan kita tampil sebagai wasit peradaban umat manusia, bukan mereka yang diwasiti, seperti yang telah kita derita sejak sektar empat ratus tahun yang lalu.

IRF

Dalam perspektif pemikiran Hamka dan gagasan gerakan pembaruan Islam di Indonesia sejak awal abad ke-20, saya melihat relevansinya dengan apa yang telah digagas dan diperjuangkan oleh IRF di Malaysia sejak pembentukannya pada 12 Desember 2009.

Untuk menjelaskan jati dirinya, IRF menulis: “Sebuah gerakan intelektual dan tanki pemikir yang difokuskan untuk pemberdayaan anak muda dan kemajuan bagi wacana intelektul Muslim.” Pada alinea ketiga, IRF menegaskan hakekat misinya untuk: “Memajukan pemahaman Islam yang terkait dengan isu-isu politik, lingkungan, intelektual, sosial, dan agama yang dapat memberikan dampak atas pembentukan sebuah masyarakat sipil.”

Lebih lanjut dalam  merumuskan dedikasinya, IRF tampaknya tidak mau bergerak kepalang tanggung untuk membebaskan minda umat Islam dari ortodoksi dan konservatisme dengan menggunakan nalar dan rasionalisme. Kita baca: “IRF didedikasikan untuk kebangkitan dan pembaruan Pemikiran Islam dan metodologinya dengan tujuan agar memungkinkan umat berurusan secara efektif menghadapi tantangan-tantangan masa kini dan memberikan sumbangan bagi kemajuan peradaban umat manusia.”

Dibandingkan dengan apa yang sudah berlaku di Minangkabau khususnya dan di Indonesia umumnya, gerakan pembaruan di Malaysia datang sangat terlambat. Tetapi lebih baik terlambat daripada diam samasekali. Kata Iqbal: “Bergerak dengan dosa lebih baik daripada diam berpahala.” Pemikir Pakistan ini dengan filsafat egonya menurunkan dialog imajiner manusia yang sedikit tegang tetapi akrab dengan Tuhan sebagai berikut:

Tuhan mendekritkan:

Keadaannya sudah seperti ini

Usahlah engkau punya usul lagi tentang ini

Manusia menjawab:

Tidak diragukan lagi, keadaannya memang demikian itu

Tetapi harus seperti ini.

Terlihat sekilas dalam kutipan ini, manusia seperti membangkang kepada Tuhan, tetapi yang dimaksud tidaklah demikian. “Yang ingin disampaikan di sini adalah agar manusia tidak mudah menyerah, selama tantangan itu masih berada dalam radius kemanusiaan.” Hamka dalam batas-batas kemanusiaannya telah berbuat dengan semangat keberanian yang tinggi dalam seluruh karya hidupnya untuk kebangkitan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.

Saya membaca filosofi IRF juga berada dalam semangat kebangkitan Islam yang tidak boleh ditunda lebih lama lagi. Untuk memperkaya wawasan keislaman IRF, maka karya-karya tulis Hamka tidak diragukan lagi akan memberikan sumbangan yang tidak kecil. Apa yang sudah saya bentangkan di atas hanyalah pragmen-pragmen belaka dari pemikiran Hamka yang dapat ditelusuri dalam karya-karya tulis yang jumlahnya lebih dari 100 itu. 

PenutupPenutup

Sebagai seorang manusia merdeka yang selalu mencari kebenaran, Hamka telah merintis sebuah kerja besar dalam upaya membangun pilar-pilar peradaban Islam modern, moderat, inklusif, dan punya daya jangkau yang jauh ke depan. Tetapi kerja itu belum selesai, maka adalah tugas dan kewajiban generasi yang datang kemudian untuk meneruskan apa yang telah dirintis Hamka itu yang meliputi berbagai dimensi kehidupan manusia. Hamka sepanjang bacaan saya belum pernah mempertanyakan apakah umat Islam masih harus juga terkurung dalam kontak-kotak sunnisme, syi’isme, kharijisme, dan firqah-firqah yang lain yang semuanya ini muncul setelah era kenabian. Pertanyaannya: apakah kita di abad sekarang masih akan “memberhalakan” firqah-firqah itu dengan mengenyampingkan al-Qur’an sebagai al-furqân (kriterium pembeda) yang mengajarkan konsep kesatuan umat beriman? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebuah riset yang luas dan mendalam sangat diperlukan.


Prof Ahmad Syafii Maarif adalah seorang ulama, ilmuwan dan tokoh pendidik Indonesia. Beliau juga merupakan mantan Ketua Umum Muhammadiyah dan Presiden World Conference on Religion for Peace. Kertas kerja in disampaikan di Seminar Pemikiran Reformis Siri I: Buya Hamka anjuran Islamic Renaissance Front dan Global Movement of Moderates di Conference Room, Global Movement of Moderates Foundation, Menara Manulife, Bukit Damansara, Kuala Lumpur pada tanggal 21 Juni 2014.

Contact Us
Islamic Renaissance Front
26th Floor Menara Maxis, Kuala Lumpur City Centre, 50088 Kuala Lumpur, Malaysia
Phone: +603-2615-7919
Fax: +603-2615-2699
Updated version: 2.39-20231022