Bahaya Menolak Akal dan Memberhalakan Teks – Uraian buku Muktazilah dan Persoalan Kebebasan Insan oleh Dr Muhammad Imarah
January 30, 2020

Piet Hizbullah Khaidir || 30 Januari 2020

 

Bagaikan perdebatan klasik yang terulang antara ulama mazhab rasional dan mazhab tekstual, pemikiran Islam moden yang berkembang dewasa ini adalah pemikiran yang diwarnai oleh dua hal: pertama, pemikiran yang cenderung menolak akal, dan memberhalakan teks; dan kedua, pemikiran yang muncul sebagai respon ekstrim terhadap pemikiran pertama, yakni mengunggulkan Barat dengan corak benar-benar mengandalkan akal, dan menganggap wahyu-teks tidak penting.

Demikianlah pokok pikiran mantan Syeikh Al-Azhar, Muhammad Imarah, dalam buku karyanya Al-Mu’tazilah wa Mushkilah Al-Hurriyah Al-Insaniyah yang diterbitkan pada tahun 1986/1406. Buku keren ini kini diterjemahkan oleh Ahmad Nabil Amir dan diedit oleh Mohd Syazreen Abdullah dengan judul Muktazilah dan Persoalan Kebebasan Insan. Pokok pikiran dalam buku ini begitu menohok kesadaran berpikir siapapun yang membacanya, terutama dalam upayanya menjawab soalan tentang bagaimana posisi akal terhadap wahyu, dan bagaimana sejatinya sikap wahyu terhadap akal. Dengan huraian yang begitu mendalam, dari aspek historis, argumen-argumen naql dan ‘aql, serta runtutan metodologis bagaimana seorang pemikir Muslim harus menyikapi perdebatan penggunaan akal dan wahyu, mendapatkan jawaban yang komprehensif. Oleh karena itu, buku ini sangat layak dipelajari dan didiskusikan oleh semua pihak yang berminat mempelajari dan mencari solusi atas diskusi teologis mengenai akal dan wahyu.

Dengan bahasa yang jelas, argumentatif dan mudah dipahami, Imarah membuka soalan dengan mengemukakan dominasi penolak akal dan pemuja Barat. Imarah menyebut yang pertama dengan Kaum Salafiyah Tektualis (al-Salafiyah al-Nususiyah) dengan ciri pemikiran: menolak dan mengingkari akal (al-‘aql) dan rasionalitas (al-‘aqlaniyah), bahkan yang terkait dengan fakta sejarah kaum Salaf sendiri yang sejatinya sangat konsen dengan eksperimen kemanusiaan (al-tajribah al-basyariyah) dan ijtihad (al-ijtihadat al-insaniyah). Sedangkan yang kedua, Imarah menyebutnya dengan Gerakan Kaum Kebaratan yang memiliki ciri pemikiran: semua pemikiran dan perilaku umat harus dibaratkan dalam meraih kemajuan. Pemikiran ekstrim dari Gerakan Kaum Kebaratan ini adalah menolak wahyu dan apapun yang berasal dari wahyu bila tidak sesuai dengan kemajuan seperti yang telah diraih Barat.

Terhadap soalan ini, Imarah memberikan jawaban solutif-metodologis, iaitu, urgensi penerapan rasionalitas Islam (al-‘aqlaniyah al-Islamiyah). Rasionalitas Islam, menurut Imarah, memiliki dua kaki sekaligus sayap: akal (al-‘aql) dan wahyu (al-naql) yang secara harmonis diciptakan oleh Tuhan semesta alam untuk saling berdampingan melengkapi pemikiran insan.

Dalam konteks rasionalitas Islam ini, Imarah memberikan huraian historis lengkap tentang perdebatan teologis dan sosial-politik menyangkut doktrin kebebasan insan (al-hurriyah al-insaniyah) dalam Islam, yang sempat dikembangkan oleh Muktazilah. Namun segera beliau mengatakan bahwa bukan kebebasan insan seperti yang pernah digaungkan Muktazilah yang hendak diusulkan. Melainkan corak lain, yakni gabungan antara konsep kebebasan Islam (al-hurriyah al-islamiyah) dan kebebasan insan (al-hurriyah al-insaniyah). Manusia memiliki kebebasan insan karena dia manusia yang rasional. Dia bebas sebagai individu, warganegara, atau keluarga besar kemanusiaan dalam menentukan yang terbaik untuk seluruh pilihannya. Tetapi, harus dengan nilai-nilai kebebasan Islam. Tidak seperti dalam tradisi Barat dan orang yang setuju dengannya, kebebasan insan dalam tradisi Islam merupakan refleksi dari kebebasan sebagai khalifatullah di muka bumi. Kebebasan rasional insani yang tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam. Kebebasan insani yang fokus menerapkan prinsip-prinsip Islam sebagai rahmat dan maslahat bagi alam semesta, mencipta keadilan dan kesejahteraan umum. Inilah yang disebut kebebasan insan yang lahir daripada paduan harmonis al-‘aql wa al-naql yang tentu bukan berasal daripada penolak akal dan pemberhala teks; serta bukan pula berasal daripada pemuja Barat. Wallahu a’lam.


Piet Hizbullah Khaidir adalah Mantan Ketua Umum, Dewan Pimpinan Pusat, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan Sekretaris Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah (STIQSI), Sendangagung Lamongan, Indonesia.

 

Contact Us
Islamic Renaissance Front
26th Floor Menara Maxis, Kuala Lumpur City Centre, 50088 Kuala Lumpur, Malaysia
Phone: +603-2615-7919
Fax: +603-2615-2699
Updated version: 2.39-20231022