Pengaruh Rasionalisme Abduh Dalam Pemikiran Harun Nasution – Bahagian I

May 5, 2021 by Ahmad Nabil Amir

Ahmad Nabil Amir || 5 May 2021

 

PENGENALAN

“Orang   semacam   Harun   Nasution, “telah   memberikan bekas terhadap perkembangan keIslaman di IAIN seperti menghasilkan suatu gejala umum di mana orang berani berdiskusi secara terbuka, berani mempertanyakan pandangan atau doktrin yang sudah mapan dan tidak melihat doktrin itu sebagai taken for granted.”[1]

Kertas ini cuba melihat pengaruh yang krusial dan mendasar dari pemikiran Muhammad Abduh terhadap Harun Nasution, eksponen penting neo-Mu’tazilah, dari tulisan-tulisannya yang berpengaruh. Kekentalannya memperjuangkan faham-faham moden yang ditegakkan Abduh, banyak didasari dari kekuatan pengaruh rasional yang diketengahkan dan filsafat dan semangat rasionalisme Mu’tazilah, seperti yang diungkapkan Harun “Harapanku memang cuma satu, pemikiran Asy’ariyah mesti diganti oleh pemikiran rasional Mu’tazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional.”

 

KEHIDUPAN

Dilahirkan pada hari Selasa, 23 September 1919, Harun Nasution merupakan saudara keempat dari tiga  beradik tuanya. Ayahnya, Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama’, berpengetahuan luas tentang kitab-kitab Jawi dan kitab-kitab kuning berbahasa Melayu, kemahiran yang didapatnya dari diskusi dan penelaahannya dengan ulama-ulama setempat. Abdul Jabbar kemudiannnya diangkat menjadi kadi oleh pemerintah kolonial, sebagai kepala agama (merangkap hakim agama) dan Imam Masjid Kab. Simalungun.[2]

Abdul Jabbar, meski berpandangan tradisional, merupakan sosok ulama’ yang kontroversial di zamannya. Ia mengahwini putri seorang ulama’ asal Mandailing, yang menentang adat kerana merupakan perkawinan satu marga. Akibat tentangan, beliau pergi ke Pematang Siantar. Di kota itulah Harun Nasution dilahirkan.

Semua saudara Harun, kecuali yang tertua, Moh. Ayyub, mendapat pendidikan sekular. Ayyub tidak tamat sekolah dasar. Saudaranya yang lain, Khalil cuma tamat sekolah dasar, namun dia juga belajar agama dan bahasa Inggeris. Keahliannya berbahasa asing itulah kelak menyebabkannya diterima menjadi pegawai Departemen Agama di Pematang Siantar. Kakak perempuannya, Saidah, meski dipingit sejak remaja, tidak boleh sekolah, namun dapat mempelajari pengetahuan umum lewat saudaranya. Manakala Hafsah, adik Harun, kerana tidak dipingit, hidup dalam suasana lain. Beliau sempat menuntut di Taman Siswa, namun pelajarannya terganggu, kerana pendudukan Jepun di Indonesia.[3]

Harun lebih beruntung kerana dia dapat mengenal kebudayaan Barat. Orang tuanya memasukkannya ke sekolah Belanda. Inilah yang membukanya pada pandangan hidup yang moden dan terbuka, seperti dituturkan Harun, “lingkungan keluarganya, keterbukaan orang tua dan saudaranya, telah melapangkan jalan baginya untuk mengenal pandangan Islam modern.”

Selama tujuh tahun bersekolah di HIS Pematangsiantar, beliau mendalami bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum. Ibunya juga berperanan dalam membentuk sikap dan disiplinnya, seperti menyuruhnya mengerjakan pekerjaan sehari-hari di rumah, seperti mencuci pinggan mangkuk dan menyapu. Pendidikan agama diperolehnya dari sang ayah yang mengajar mengaji al-Qur’an di rumah, di sebelah petang dan selepas Maghrib.

Usai menamatkan pengajian di HIS, Harun melanjutkan pembelajarannya di MULO, namun orang tuanya menolak, kerana dia harus lanjut belajar agama. Akhirnya, Harun mengambil jalan tengah, ia bersedia melanjutkan pengajian ke sekolah agama asalkan belajar di perguruan Moderne Islamietische Kweekscool (MIK). Maka sejak 1934, ia mulai belajar di MIK, Bukit Tinggi, di mana dia diperkenalkan dengan faham Islam moden.

Setelah itu Harun melanjutkan pengajiannya ke Mekah selama satu tahun setengah dan di Fakulti Usuluddin, Universiti al-Azhar, Mesir pada 1938. Kemudian dia meneruskan ke Universitas Amerika di Kaherah di Fakulti Pendidikan, di mana dia memperoleh Sarjana Mudanya. Di Mesir dia mendirikan Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia (PKI) yang aktif menyebarkan berita tentang kemerdekaan Indonesia di Mesir dan dunia Arab lainnya. Pada tahun 1953 Harun pulang ke tanah air untuk bekerja di Departemen Luar Negeri. Setelah itu dia dipindahkan ke Mekah untuk menguruskan soal Haji selama setahun, kemudian ke Belgium, selama tiga tahun sebagai sekretaris Kedutaan.

Akhirnya beliau mengundurkan diri sebagai diplomat, dan memilih tetap tinggal di luar negara. Guru Besar mata kuliah Hukum Islam di McGill University ketika itu, Prof. HM. Rasjidi, mengundang Harun untuk menuntut di sana. Pada 20 September 1962, Harun memasuki Universitas McGill, di Kanada dengan sokongan pembimbingnya di al-Azhar, Prof. Abu Zahrah. Di McGill dia mengikuti kuliah dari W. Cantwel Smith, Herman Landolt, Toshihiko Izutsu, Niazi Berkes dan Ibrahim Abu Lughod. Setelah dua tahun di McGill, dia berhasil meraih ijazah Sarjana (Master of Arts) dalam pengajian Islam, dengan disertasinya “The Islamic State in Indonesia: The Rise of the Ideology, the Movement for its Creation and the Theory of the Masjumi.” Menurut Karel A. Steenbrink,[4] nilai laporan Harun rata-rata B plus dan A. Nilai tertinggi diberikan Prof. Izutsu, iaitu 9.3 yang melayakkannya melanjut kuliah untuk meraih gelar Doktor. Beliau meraih gelar doktor pertama dari Indonesia pada Mei 1968 dalam pengajian Islam, dengan disertasinya tentang pengaruh kalam Mu’tazilah terhadap Muhammad Abduh (The Place of Reason in Abduhs Theology: Its Impact on his Theological System and Views). Menurut Harun “berdasar telaah atas karya-karya M. Abduh, pemikirannya tidak identik dengan Asy’ari maupun Maturidi. Berarti dia termasuk sefaham dengan Mu’tazilah.”[5]

Semasa menjawat Rektor di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Jakarta, dan kemudian Dekan sekolah pasca siswazah, Harun telah menggabungkan mata kuliah dalam pengetahuan tradisional Islam dengan model pengajian Barat moden, seperti sosiologi, antropologi, perbandingan agama dan falsafah sekular. Pencapaiannya ini sangat signifikan dalam memperkenalkan teologi rasional Islam, di mana “Nasution’s greatest contribution lies mainly in his attempts to introduce the rational theology of Mu’tazilism in a more comprehensive manner.”[6]

 

PENGARUH

Harun Nasution merupakan intelektual Islam yang terkenal dengan pendekatan rasional dan pelopor paham-paham Mu’tazilah dan prinsip serta argumen-argumen rasionalnya yang konstruktif. Meskipun ia disebut-sebut sebagai neo-Mu’tazilah, ia sendiri menyebut dirinya sebagai seorang ahlul sunnah yang rasional. Kepentingannya dalam ranah pemikiran Islam moden di Indonesia cukup signifikan dan berpengaruh justru “Harun Nasution adalah seorang tokoh yang bisa disebut sebagai lokomotif dan gerbong pembaruan Islam di Indonesia”[7]

Pengaruh Harun juga sangat kuat dalam ranah intelektual di IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta dalam upaya pembaharuan yang diperkenalkannya, saat menjabat sebagai Rektornya, di mana beliau “secara berani mengajak umat Islam di Indonesia beragama secara rasional dan meninggalkan kebekuan berpikir yang telah menjadikan Islam terbelakang. Dia dengan gigih mengajak umat Islam bersikap kritis dan berijtihad secara rasional.”[8] Mengutip dari Guru Besar Hukum Islam Universiti Kaherah, Ali Hasballah, Harun berpendapat bahawa ijtihad itu sumber ketiga ajaran Islam setelah al-Qur’an dan Hadith.[9] Dalam usahanya memperbaharui aliran teologi yang pemisif dan percubaannya membawa pemikiran liberal Barat, Harun percaya bahawa “punca keterbelakangan umat Islam adalah pada dasar teologis dan justeru dapat dirungkai dengan memperkenalkan teologi baru yang dipanggil rasionalisme Islam.”[10]

Pemikirannya membawa kesan yang krusial terhadap perkembangan filsafat dan teologi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Hal ini diakui mantan Menteri Agama Munawir Sjadzali, yang menegaskan: “Kiranya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa kehadiran beliau di dalam keluarga besar IAIN telah menghasilkan pola pikir yang maju dan menggalakkan keberanian berpendapat serta keterbukaan terhadap dunia luar.”

Keghairahannya untuk mengubah konsep dan corak pemikiran di IAIN juga sudah dibayangkan sejak di luar negara, seperti dikisahkannya: “Aku sudah siap dengan konsep. Sejak aku masih di luar negeri, aku sudah mendengar kondisi IAIN, bahwa pemikiran di IAIN sangat sempit,”[11]

Corak pemikirannya yang berpengaruh terhadap praktik dasar di IAIN ini turut disingkap oleh Mohd Shuhaimi Ishak dalam penelitiannya tentang impak rasionalisme Islam Harun Nasution ke atas sistem pendidikan di IAIN dan pengaruh teologi yang ia kerahkan dalam perkembangan intelek dan pemikiran agama di IAIN Indonesia. Tesisnya turut menelaah pengaruh Muhammad Abduh terhadap diskusi kalam Harun Nasution dan filsafat-filsafat rasional yang diajukannya.

Dalam pengantarnya kepada buku Pengembang Islam dan Budaya Moderat (2016) yang diterbitkan sehubungan seminar “Refleksi Pemikiran dan Kontribusi Harun Nasution di Indonesia” pada 21 Ogos 2015, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Dede Rosyada mencatatkan pandangannya tentang praktik dan aspirasi yang cuba dikembangkan Harun dalam struktur IAIN:

Pak Harun merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Betapa tidak, beliau adalah guru besar yang sekaligus menjabat Rektor untuk waktu yang sangat panjang sejak 1973 sampai 1984, dan banyak melakukan reformasi akademik, tidak hanya kurikulum dan pembelajaran, tetapi juga melakukan perubahan paradigma kajian keagamaan normatif menjadi empirik, dan kajian tariqah ahlu al-hadis menjadi tariqah ahlu al-ra’yi bahkan tariqah al-jam’an (aliran konvergensi yang mencoba memadukan antara dua aliran ahlu al hadis dan tariqah ahlu al-ra’yi), dengan pendekatan komprehensif mengkaji seluruh aliran dan pemikiran, dianalisis dan disimpulkan….sosok Pak Harun sangat fenomenal, dan gerakan reformasi akademiknya sangat dirasakan oleh para mahasiswanya, sehingga kemudian, para penerus beliau menyebut kampus UIN Jakarta sebagai kampus pembaharuan, yang semua mahasiswanya harus berpandangan terbuka untuk melakukan pembaharuan, tidak saja dalam pemikiran dan sikap keberagamaan, tapi juga dalam sikap sosial dan professional mereka. Sikap reformis akhirnya menjadi identitas untuk semua alumni UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta…Disadari atau tidak, itu merupakan salah satu jasa besar dari Pak Harun yang mengubah paradigma kajian keilmuan keagamaan di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.”

 

Kesignifikan Harun ini turut diuraikan oleh Nurcholis Madjid, dalam konteks pemikiran kalam dan peri pentingnya ide-ide progresif yang dilontarkannya dalam pembaharuan disiplin keilmuan:

orang macam Harun telah memberikan bekas terhadap perkembangan keislaman di IAIN seperti menghasilkan suatu gejala umum dimana orang berani berdiskusi secara terbuka, berani mempertanyakan pandangan atau doktrin yang sudah mapan dan tidak melihat doktrin itu sebagai taken for granted. Dia mempertanyakan relevansi doktrin itu kepada sejarah, bagaimana kaitannya dulu dan sebagainya. Inilah yang menghasilkan kemampuan tertentu yang yang secara teknis disebut learning capacity, yaitu kemampuan untuk belajar[12]

 

Selanjutnya Madjid mengatakan,

“Yang secara substansi bisa kita lanjutkan dan kita kembangkan dari Pak Harun ialah studi atau kajian mengenai kalam (teologi) dan filsafat. Kalam oleh para ahli Barat disebut teologi rasional, tidak seperti teologi Kristen yang dogmatis. Kalam itu sangat dialektis dan logis[13]

Menurut Madjid, “salah satu efek Harunisme adalah membuat agama menjadi fungsional, tidak hanya simbol-simbol yang sentimental dan penuh perasaan.” Harun Nasution menurutnya tidak minat pada dzauqiyat tapi aqliyyah. Kerana kalau hanya dzauq, para pengikut kultus jauh lebih mantap, lebih puas dari orang yang beragama - Karena guru-guru kultus selalu mengatakan: “ikut saya pasti masuk surga”. Madjid juga menolak sikap beberapa sarjana yang melihat bahwa pembaharuan teologis tidak akan berdampak apa-apa pada sisi sosial ekonomi masyarakat. Ini diingkarinya.[14]

 

PEMBAHARU HUKUM

Penganugerahan Bintang Mahaputra Utama kepada Harun Nasution oleh pemerintah sebagai Tokoh Pengembang Budaya Moderat sempena Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70, pada 13 Ogos 2015, kiranya mengiktiraf kepeloporannya dalam pembaruan fiqh dan tauhid dimana “ia dianggap sebagai tokoh yang telah memberikan jasa luar biasa dalam pengabdian dan pengorbanan di bidang budaya dan ilmu pengetahuan.”

Kritiknya terkait fiqh dan tauhid, sangat membangun di mana dia mengatakan bahwa “pengajaran fikih di Indonesia menjadikan Islam terkesan sebagai agama yang hanya melulu soal halal dan haram. Mengenal Islam dari sudut pandang fikih saja memberi gambaran yang pincang tentang Islam. Apalagi jika hanya didasarkan pada satu mazhab fikih saja.”[15] Tentang tauhid, ia menjelaskan bahwa “teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya dalam bentuk ilmu tauhid. Ilmu tauhid, selain kurang mendalam dan filosofis pembahasannya juga biasanya sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran lain yang ada dalam teologi Islam.”[16]

Apresiasi pemerintah terhadap Harun juga dirakamkan dengan penganugerahan Bintang Budaya Parama Dharma pada 2014 sebagai penghargaan terhadap para pengembang dan pelestari kebudayaan. Dalam buku yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI cetakan 2008 berjudul “Paradigma Baru Pendidikan Islam” ditegaskan penghargaan ini: “Dia mengenalkan multi pendekatan dan memperjuangkannya dengan sangat konsisten. Pengaruh pemikirannya sangat kuat di kalangan IAIN dan STAIN seluruh Indonesia dan masih dirasakan sampai sekarang.”

Juga diungkapkan pengaruhnya dalam pendekatan program-program dasar yang konstruktif “Selama menjadi rektor (1973-1984) dan setelahnya sampai tahun 1990-an sebagai Direktur pada program studi lanjutan pertama yang dibuka di IAIN Jakarta, Harun mengembangkan pemikiran Islam rasional dan menjadikan program S1 dan pasca sarjana IAIN Jakarta sebagai agen pembaharuan pemikiran dalam Islam dan tempat penyemaian gagasan-gagasan keIslaman yang baru.”

 

FILSAFAT RASIONAL MU‘TAZILAH

Dalam menggembleng kebangkitan mazhab rasionalisme Islam, Harun Nasution telah mempelopori perjuangan yang signifikan dalam menegakkan ideologi dan prinsip-prinsip kalam Mu’tazilah. Paham ini ditegakkan berdasar dari pemikiran dan filsafat rasionalnya. Dalam bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Harun menulis: “berbeda dengan aliran-aliran teologi lainnya, aliran Asy’ariyah dan aliran Maturidiah masih ada dan inilah pada umumnya yang dianut oleh Umat Islam sekarang. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh pengikut-pengikut mazhab Abu Hanifah. Kedua aliran inilah yang disebut Ahlussunnah. Tetapi dalam pada itu faham rasional yang dibawa oleh kaum Mu’tazilah mulai timbul kembali di abad ke 20 ini terutama di kalangan kaum terpelajar Islam. Tetapi bagaimanapun, pengikut Asy’ariyah jauh lebih banyak daripada pengikut aliran-aliran lainnya.”[17]

Aspirasi Islam yang progresif yang ditinjau dari buku Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya ini menguatkan pandangan dan prinsip Mu’tazilah yang mendasari perbedaannya yang prinsipal dengan mazhab Asy’ariyah, di mana menurut Harun “perbedaan dasar antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah terletak pada pendapat tentang kekuatan akal. Karena Mu’tazilah amat menghargai akal dan berpendapat bahwa akal manusia dapat sampai kepada ajaran dasar dalam agama yaitu adanya Tuhan dan masalah kebaikan dan kejahatan. Setelah sampai kepada adanya Tuhan dan apa yang disebut baik serta apa yang disebut jahat akal manusia dapat pula mengetahui kewajibannya terhadap Tuhan dan kewajibannya untuk berbuat baik dan kewajiban untuk menjauhi perbuatan jahat. Wahyu dalam keempat hal ini datang untuk memperkuat pendapat akal dan untuk memberi perincian tentang apa yang telah diketahuinya itu.”

Kaum Asy’ariyah, sebaliknya, berpendapat bahwa akal tidak begitu berdaya kekuatannya. Di antara ke empat masalah di atas, akal dapat sampai hanya kepadanya adanya Tuhan. Soal kewajiban manusia terhadap Tuhan, soal baik dan buruk (jahat) dan kewajiban berbuat baik serta kewajiban menjauhi kejahatan itu tidak dapat diketahui akal manusia. Itu diketahui manusia hanya melalui wahyu yang dikirimkan Tuhan melalui para Nabi dan Rasul.”

“Kalau kaum Mu’tazilah banyak percaya pada kekuatan akal manusia kaum Asy’ariyah banyak bergantung kepada wahyu. Sikap yang dipakai kaum Mu’tazilah ialah mempergunakan akal dan kemudian memberi interpretasi pada teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy’ariyah sebaliknya pergi terlebih dahulu kepada teks wahyu dan kemudian membawa argumen-argumen rasionil untuk teks wahyu itu. Kalau kaum Mu’tazilah banyak memakai ta’wil atau interpretasi dalam memahami teks wahyu, kaum Asy’ariyah banyak berpegang pada arti lafzi atau leterlek dari teks wahyu. Dengan lain kata kalau kaum Mu’tazilah membaca yang tersirat dalam teks, kaum Asy’ariyah membaca yang tersurat.”

Selain dari itu, faham al-Kasb yang dibawa kaum Asy’ariyah lebih dekat kepada faham Jabariah atau fatalisme kepada faham qadariah atau kebebasan manusia. Dan karena kuat mempertahankan faham kekuasaan mutlak Tuhan, faham hukum alam atau sunnatullah akhirnya tidak mendapat tempat dalam aliran Asy’ariyah”.[18]

Pemahaman epistemologinya seputar prinsip teologis Mu’tazilah yang ditinjau dari bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya ini, menzahirkan pandangan rasional yang signifikan yang dirumuskan dari idealisme dan pandangan sarwa Abduh yang progresif, di mana “ia menggugat cara beragama di Indonesia yang tampak sempit.”[19]

Dalam ikhtiarnya mengembangkan gagasan rasional yang dilontarkan Abduh seputar prinsip dan faham pembaharuan Islam, Harun telah merumuskan sistem dan falsafah penting dari fikiran-fikirannya yang konklusif, tentang paham-paham rasional Mu’tazilah, yang cuba digarap dan dikembangkan di mana “akan halnya Prof. Harun Nasution, gagasannya tentang perlunya dikembangkan teologi rasional Mu’tazilah dan pendapatnya yang menolak adanya Negara Islam, misalnya, telah memberikan landasan normatif khususnya bagi kalangan cendikiawan dan profesional Muslim untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan ini, tanpa ada kekhawatiran dituding mengkhianati agamanya.”[20]

Paham dan hujah yang ditegakkannya sempat mengilhamkan pembenturan dan kebangkitan ideologi rasional berdepan dengan mazhab tradisional dan tak terlepas dari menimbulkan keresahan dan kegelisahan umum, di mana “Tidak dipungkiri, sepak-terjang Harun memang sempat menimbulkan pergolakan di kalangan kaum Muslimin. Namun, sekali lagi, itu semata-mata dilakukannya demi kemajuan Islam. Dan Islam, menurutnya, harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan serta kemajuan zaman.”[21]

 

NOTA KAKI:

[1] Nurcholish Madjid, “Abduhisme Pak Harun”, dalam Aqib Suminto, ed., Refleksi Pembaharuan Islam (Jakarta: ISAF, 1989).

[2] Akhiyat, “Studi Teologi Harun Nasution” (Skripsi Sarjana, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 1996).

[3] Ibid.

[4] Karel A. Steenbrink, “Dari Kairo Hingga Kanada dan Kampung Utan (perkembangan Pemikiran Teologis Prof. Harun Nasution)” dalam Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), 152.

[5] Akhiyat, op.cit.

[6] Fauzan Saleh, Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia: A Critical Survey (Leiden: Brill, 2001), 197.

[7] Achmad Rifki, “Mahaputra bagi Harun Nasution dan Kembalinya Islam Rasional” (15 Ogos, 2015), madinaonline.id

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Ishak,  Mohd.  Shuhaimi,  Islamic  Rationalism:  A  Critical  Evaluation  of  Harun  Nasution’s Thought (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2009).

[11] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), 179.

[12]Aqib Suminto, 1989, op.cit., 102-3.

[13] Ibid, 104.

[14] Ibid.

[15] Achmad Rifki, 2015, op.cit.

[16] Ibid.

[17] Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1974), 41.

[18] Ibid, 42.

[19] Achmad Rifki, op.cit.

[20] Achmad Rifki, op.cit.

[21] Iswara N Raditya, “Memadukan Wahyu dan Akal: Berislam ala Harun Nasution” (15 Mei 2018), tirto.id - Humaniora.


Dr Ahmad Nabil Amir adalah sarjana kedoktoran dam bidang Usuluddin daripada Universiti Malaya. Beliau juga adalah Ketua Abduh Study Group, Islamic Renaissance Front. Esei ini diterbitkan oleh Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian KeIslaman; Jilid 8 Nomor 1 pada I Juni 2020.

 

 




View original article at: https://irfront.net/post/articles/pengaruh-rasionalisme-abduh-dalam-pemikiran-harun-nasution-bahagian-i/