Pengaruh Rasionalisme Abduh Dalam Pemikiran Harun Nasution – Bahagian II

May 8, 2021

Ahmad Nabil Amir || 8 May 2021

 

Sang filosofis

Pembicaraanku seringkali terlalu filosofis. Maka setiap kali aku diminta untuk berbicara di masjid, kubilang tidak bisa. Aku tidak bisa bercerita dongeng kepada mereka. Sebab, dongeng tidak masuk akal bagiku.” – Harun Nasution

 

Dalam karyanya Falsafat Islam, Harun Nasution menguraikan tentang dasar-dasar agama yang ditinjau secara filsafat, seperti keberadaan Tuhan; yang menawarkan penjelasan yang lebih dapat diterima akal kepada penghujat wahyu yang hanya berpegang pada rasio dan daya taakul. Argumen-argumen rasional yang dielaskan secara filsafat di setiap babnya memungkinkan hujahnya ditanggapi oleh semua bahkan kalangan ateis. Menurutnya, “pengetahuan agama tidak selalu menggunakan wahyu, melainkan juga dengan penggunaan bukti-bukti historis, argumen-argumen rasional tentang agama dapat mempertebal keimanan seseorang.” Dan dalam buku ini “ia berusaha untuk mengisbatkan ajaran Islam sangat rasional dan dapat dibuktikan.” Dalam rangka pembaharuan dan penegasan sifat rasional dan ijtihad buku ini menghimbau bahwa pendidikan tradisional harus dirubah dengan memasukkan mata pelajaran dari ilmu pengetahuan moden dalam kuliah di madrasah, dan sistem pemerintahan yang mutlak harus digantikan dengan kerajaan demokratik berasaskan prinsip konstitusional.

Dalam bukunya Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution cuba mengangkat aspirasi rasional yang didengungkan dalam al-Qur’an dan Sunnah, di mana menurutnya, “Islam sangat rasional apalagi dalam beragama tidak ada yang tidak bisa diterangkan oleh akal.” Peranan akal yang krusial ini dipertahankan dengan prinsip dan paham mazhab Mu’tazilah dan filsafat rasionalnya, di mana menurutnya “teologi rasional diwarnai dengan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam kehendak serta perbuatan, keyakinan akan adanya hukum alam ciptaan Tuhan dan kecendrungan untuk mengambil arti tersirat dari teks-teks wahyu yang arti lafaznya tak sejalan dengan pemikiran rasional dan ilmiah”[1]

Ideal dan pandangan dinamik ini digarap daripada pemikiran Abduh yang mengajarkan kemerdekaan dan kebebasan akal, seperti dicatatkan Robert R. Relly dalam bukunya The Closing of the Muslim Mind: How Intellectual Suicide Created the Modern Islamist (bab 7: The Wreckage: Muslim Testimonials): (conservative ulama) asking if he had given up Asha’rite teaching to follow the Mu’tazilite,” jawab Abduh, “If I give up blind  acceptance  (taqlid)  of  Asha’rite  doctrine,  why  should  I  take  up blind acceptance of the Mu’tazilite?[2]

Pada asasnya buku ini cuba menangkis kejumudan, dan sikap taqlid yang melulu di tengah umat di mana menurutnya “banyak kaum Muslimin hanya mengikuti dogma yang merupakan hasil ijtihad para ulama’ di zaman klasik, padahal dengan menolak sikap taqlid mereka seharusnya tidak terikat kepada ajaran yang dihasilkan ijtihad ulama’ masa silam”[3] Dalam buku Islam Rasional (yang merupakan himpunan makalahnya antara 1970-1994) ini Harun mengerahkan pemikiran rasional yang meyakinkan dan melontarkan beberapa kemungkinan bagi menjawab ketertinggalan dan keterbelakangan kita. Yakni dengan menyingkap lembaran sejarah tentang period klasik Islam, di mana para ulama’ sanggup membezakan antara ajaran dasar Islam yang bersifat absolut (dalam al-Qur’an dan Hadith) dengan yang bukan dasar dan sifatnya tidak mutlak. Ini jauh berbeza dengan period pertengahan (bermula dengan kejatuhan Baghdad hasil penyerbuan Hulagu Khan pada tahun 1258) di mana ulama’-ulama’ zaman pertengahan menganggap ajaran-ajaran ulama’ klasik turut diyakini sebagai dogma, sehingga ajaran-ajaran relatif ini mengikat kebebasan berfikir dan bergerak. Makanya, kata Harun “jika ajaran yang nisbi itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman sekarang, bisa saja ditinggalkan untuk kemudian mencari penyesuaiannya dengan tetap mengacu kepada al-Qur’an dan Hadith.”[4]

Harun juga menekankan tentang faham teologi yang dianut ulama’ period klasik yaitu teologi rasional, atau qadariyah (kehendak bebas, kemerdekaan manusia), yang mendorong pencapaian kreatif dan dinamik dan sikap keterbukaan bertentang dengan umat zaman pertengahan yang menganut paham jabariyah (fatalisme, keterpaksaan manusia) yang beranggapan nasib sudah ditentukan Tuhan sejak azali. Inilah yang cuba dipecahkan Harun dalam merekonstruksi dan memulihkan kekuatan umat muslim.

Dalam upaya mendakyahkan ideologi kaum Mu’tazilah dan merangsang umat untuk berfikir, ia cuba mengajukan upaya ini secara filosofis, kerana “bagi Harun Nasution, kebangkitan Islam tidak harus dilakukan dengan emosi yang meluap-luap, melainkan dengan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofis.”[5]

Bukunya “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya” meninjau aspek-aspek pokok dari segi-segi pemikiran dan falsafah pengetahuan Islam yang dinamik. Tulisannya ini telah mendapat sanggahan dan tantangan hebat dari sebahagian ulama’ dan cendekiawan dan beberapa pihak yang menzahirkan “pernyataan-pernyataan tidak setuju dengan cara penulisan buku tersebut”. Tangkisan yang menarik oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi dalam bukunya “Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya” dan “Koreksi Prof. Dr. H.M. Rasjidi terhadap Prof. Dr. Harun Nasution dalam Uraiannya Ajaran Islam tentang Akal dan Akhlak” menampakkan kegelisahan dan keberatan terhadap pandangan yang ditampilkan yang sedemikian rupa disanggahnya dalam mendudukkan persoalan tersebut secara ilmiah, meskipun Prof. Dr. H.M. Rasjidi merasakan kedangkalan dalam kesimpulan-kesimpulan yang dibuat oleh Harun Nasution tentang aspek-aspek ketuhanan, pembaharuan Islam, dan tasawuf, dimana “kalau soalnya begitu, maka saya dengan sangat menyesal terpaksa mengatakan bahwa penulis buku tersebut belum memahami ajaran-ajaran Islam.”[6]

Buku ini ditulis sebagai teks dasar dalam kuliah pengantar Ilmu Agama Islam dan pada awalnya diterima dengan positif oleh khalayak sebagai ringkasan aspek-aspek Islam yang dinamik, seperti dicatatkan Dr. Mulyanto Sumardi, Kepala Direktorat Perguruan Tinggi, Departemen Agama dalam kata sambutannya: “buku Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (adalah) suatu buku yang akan bermanfa’at terutama untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Agama Islam – mata Kuliah Komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa I.A.I.N. apapun fakultas dan jurusannya, seperti yang telah ditetapkan dalam rapat Kerja Rektor I.A.I.N. se-Indonesia di Ciumbuluit Bandung, bulan Agustus 1973.”[7]

Tetapi selang beberapa waktu kemudian tercetus ketegangan dan keresahan di kalangan umum dan cendikiawan yang melahirkan ketidak setujuan terhadap buku tersebut, mengingat beberapa kekeliruan dalam pandangan dan keterangan-keterangannya dalam “menguraikan filsafat Ibnu Rusyd yang tidak senafas dengan Islam” dan “kesalahan faham yang bukan-bukan” hasil meresapnya faham neo-Platonisme, “kurang memenuhi integritas ilmiyah” bahkan “mengandung gejala-gejala pengaruh negatif dari orientalisme atau pengajian Islam dengan cara Barat” serta penyimpangannya dalam menafsirkan soal-soal agama, sejarah, politik, hukum, filsafat, teologi, dan mistisisme yang “hanya menimbulkan kekacauan dalam fikiran generasi muda”[8]

 

Dasar Teologis

Teologi rasional yang dirumuskan dari pandangan moden Abduh mengilhamkan penetrasi-penetrasi dan pendalaman-pendalaman filsafat, serta sistem pemikiran yang progresif yang cuba diketengahkan Harun dalam pemikiran moden yang berkembang di Indonesia, dengan menafikan aliran Asy’ariyah dengan pandangan Mu’tazilah, yang lebih dipahami kaum terpelajar, di mana “Hal-hal inilah antara lain yang membuat aliran Asy’ariyah kurang sesuai dengan jiwa kaum terpelajar yang banyak mendapat pendidikan Barat. Dalam suasana serupa inilah orang mulai kembali ke faham-faham rasional yang dibawa kaum Mu’tazilah. Teologi atau falsafat hidup Asy’ariyah yang mempunyai corak traditional itu kurang sesuai dengan pandangan hidup mereka, yang lebih dapat mereka terima ialah teologi atau falsafat hidup Mu’tazilah yang lebih banyak mempunyai corak liberal.”[9]

Perkembangan mazhab dan pengaruh dari karya-karya Abduh telah memberi dampak luar biasa di dunia Islam dan terutamanya kepulauan Melayu-Indonesia, di mana, menurut Harun “Pemikiran-pemikiran Mu’tazilah mulai ditimbulkan kembali oleh pemikiran-pemikiran pembaharuan dalam Islam abad 19 seperti Jamaludin al Afgani, Muhammad Abduh dan Ahmad Khan di India.”[10]

Harun menyimpulkan (sebagai dirumuskan dalam tesisnya), bahwa pengaruh Muhammad Abduh telah menyebar luas di Nusantara kerana impak yang signifikan dari idea-ideanya yang revolusioner dan gagasan modennya yang telah membangkitkan kesedaran baru dalam pemikiran kaum Muslimin di Indonesia “It is under the impact of his ideas, which came into the country through al-‘Urwah al-Wuthqa, al-Manar dan through his own works such as Tafsir al-Manar and Risalah al-Tawhid, that modernism in Indonesian Islam was inaugurated in the first decade of this century.”[11]

Dalam bukunya Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya Harun menulis: “Pendapat yang banyak dianut dalam kalangan Ahlus-sunnah bahwa pintu ijtihad tertutup mulai mendapat tantangan oleh pemikir-pemikir pembaharuan dalam Islam di akhir abad 19 yang lalu seperti al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.”[12]

Akan halnya kaidah akliah yang dikembangkan Abduh yang menegakkan hujah dan dasar rasional Mu’tazilah, yang dipertahankan Harun, sebagai prinsip yang diperkukuh dan didasarkan dari ideologi hukum Islam. Menanggapi hal ini Harun menyatakan:

Yang membuat umat Islam banyak bersifat statis ialah karena merasa terikat pada ajaran-ajaran bukan dasar yang dihasilkan zaman- zaman yang silam, yaitu ajaran-ajaran bukan dasar yang tidak sesuai lagi dengan kondisi zaman modern. Hakekat inilah yang disadari kaum pembaharu Islam, dan untuk pembaharuan, mereka melihat bahwa penafsiran atau ajaran-ajaran bukan dasar yang tidak sesuai dengan zaman harus ditinggalkan. Sebagai penggantinya perlu diadakan ajaran bukan dasar baru dengan menimbulkan penafsiran baru dari ajaran dasar yang terdapat dalam al-Qur-an dan al-Hadith. Yang mereka maksud dengan meninggalkan taqlid ialah meninggalkan ajaran-ajaran bukan dasar itu, dan dengan kembali kepada ajaran dasar dan menyesuaikan penafsirannya dengan tuntutan zaman.”

…Oleh karena itu tidaklah berdasar anggapan bahwa umat Islam mundur, karena agama Islam merupakan penghambat bagi kemajuan. Umat Islam lambat dalam geraknya mencapai perobahan dan kemajuan, bukan karena agama Islam, tetapi karena umat Islam masih terikat pada tradisi nenek moyang. Dalam tiap masyarakat, tradisi memang merupakan penghambat besar bagi tiap usaha-usaha modernisasi, apalagi kalau tradisi itu dianggap mempunyai sifat sakral.”[13]

Pandangan hidup yang ideal dan instruktif ini menekankan pentingnya kesedaran dan kekuatan daya akliah dan ijtihad dan keperluannya yang mendasar dalam mengilhamkan kebangkitan dan menggerakkan perjuangan yang bermakna dalam upaya pembaharuan.

 

Pengaruh Abduh

Terinspirasi dari keaslian pemahaman Abduh dan rumusan-rumusan akliah yang fundamental dan ideologi pemikiran yang penting yang dilakarkannya tentang faham-faham Mu’tazilah dan khittah dasarnya yang progresif, Harun cuba menyerbukan pandangannya dalam upaya menggempur benteng Asya’irah dan mendobrak faham jabariyah dan fatalisme dan sikap penyerahan yang pasrah kepada taqdir, dan menolak faham jumud dan kolot di mana “pemikiran Abduh ini sangat mengena dalam pemahaman Harun. Menurutnya, yang juga menjadi penyebab kemunduran umat Islam di Indonesia tidak lain adalah kejumudan.”[14]

Faham rasional Abduh, dan kerangka pemikiran yang dibawanya, dakwa Harun, mempunyai persamaan dengan paham rasional kaum Mu’tazilah, di mana kesimpulan penelitian doktoralnya menyatakan “Muhammad Abduh…mempunyai pendapat-pendapat Mu’tazilah” dan pada pengantar bukunya Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah bahawa “pemikiran teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan pemikiran teologi kaum Mu’tazilah”. Kekuatan prinsip dan kaedah rasional yang diajukan Abduh inilah yang cuba ditegakkan dari kerangka akliah dan pandangan dunia Islam yang moden, sebagai dirumuskan oleh Nurcholish Madjid: “Kita mengetahui tokoh yang nampaknya paling banyak diketahui Pak Harun adalah Syekh Muhammad Abduh...dan itu dibuktikannya melalui berbagai penelitiannya. Sebagai seorang pengkagum Muhammad Abduh, Pak Harun boleh disebut “Abduhis” sekali. Etosnya terhadap rasionalitas dan ilmu pengetahuan sangat kuat. Karena etos ilmiahnya kuat sekali, maka dalam hal ini disebut modern. Karena itu Muhammad Abduh memperoleh nama sebagai seorang modernis.”[15]

Kekuatan dan asas-asas pemikiran kalam yang disuguhkannya mengilhamkan pembaharuan dan kebangkitan teologi moden mu’tazilah, yang menginspirasikan Harun, dimana “aspek pembaharuan itulah yang merupakan benang merah dari pemikiran Harun yang meliputi, pembaharuan teologi, filsafat, dan pemikiran politik Islam, sehingga pendekatan keilmuan Harun lebih liberal bila dibandingkan tokoh pembaharu sezamannya[16]

Perjuangannya menegakkan pandangan agama yang rasional dalam dunia moden dan melanjutkan projek pembaruan Islam ini sangat krusial dan bermakna, di mana “di tengah maraknya isu-isu disharmonis, ketidakrukunan, kekerasan bahkan konflik, yang mengatas-namakan agama, maka pemikiran Islam rasional yang digagas oleh Harun Nasution merupakan solusi tawaran dalam memahami agama dalam rangka menwujudkan kerukunan umat beragama.”[17]

 

Al-Urwatul Wuthqa

Mengambil dari filsafat dan pandangan rasional Abduh yang dinamik, dan pemahaman Islamnya yang moden dan konkrit, Harun cuba mengembangkan asas-asas rasional dan prinsip ijtihad yang diilhamkannya, dan menegakkan ajaran-ajaran filsafat yang konstruktif yang dikembangkannya dalam al-Urwah al-Wuthqa fi al-Sahwah al-Kubra yang telah menghasilkan kekuatan yang dahsyat dalam mengancam aspirasi kolonial dan kuasa imperialisme Barat. Menurut keterangan H.M. Rasjidi, “Al-Urwatul Wuthqa yang hanya terbit 18 kali, pada tahun 1884 telah berjasa membuka mata umat Islam tentang penjajahan barat khususnya Inggris di India dan Mesir[18]

 Di mana menurut Harun, diterangkan di dalam al-Urwah al-Wuthqa bahawa faham Qada’ dan Qadar telah diselewengkan menjadi fatalisme (jabriyyah) menyebabkan umat mundur. Padahal, sebenarnya faham itu mengandung arti dan esensi yang dinamis, yang mendorong umat maju. Walhasil, faham jabariyah (keterpaksaan manusia) yang mengakar dalam pemahaman kaum Muslimin sekarang perlu dirubah kepada paham kebebasan dalam kehendak dan perbuatan seseorang layaknya paham Mu’tazilah, yang akan menimbulkan kedinamisan dan kebangkitan umat semula.

 Sejarah tentang pemikiran dan aliran teologi Mu’tazilah dan posisinya sebagai kaum rasionalis dicatatkan oleh Shahrastani dalam karya klasiknya al-Milal wa al-Nihal, “The Mu’tazilah are incontestably rationalists, in the true sense of the term, in that they consider that certain awareness are accessible to man by means of intelligence alone, in the absence of, or prior to, any revelation[19]

Harun membezakan aspirasi pembaharuan Islam yang rasional, yang digerakkan Abduh yang menekankan semangat rasional dan kebebasan, dengan diktat Ash’ariyyah, di mana “because of his position of ascribing great powers to reason and limited functions to revelation, his system and views are in glaring contradiction with those of the Ash’arites who have a distrust in the power of reason and great reliance on revelation. His system and views, on the other hand, greatly resemble those of the Mu’tazilites who have been well-known for their high appreciation of the power of reason and little reliance on revelation[20]

 Dalam bukunya yang menjadi rujukan dasar dalam perguruan tinggi Islam, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (1986), Harun menegaskan bahwa “perpaduan pemikiran Abduh dan konsep Mu’tazilah mampu membawa masyarakat menjauh dari kekacauan, bahkan tanpa turunnya wahyu sekalipun”[21] berkat pemikiran dan gagasan yang ditegakkan berdasar dari prinsip rasional dan filsafatnya yang mendasar.

 

Kesimpulan

Terkesan dengan upaya pembaharuan yang digerakkan Abduh, Harun Nasution cuba mengembangkan pengaruh dan idealisme rasional yang diilhamkannya, bagi menggembleng harakat dan idealisme perjuangan dan membawa semangat kebebasan dan ijtihad.

Aspirasi moden ini digerakkan berdasar dari pemikiran dan teologi rasional yang diperjuangkan. Mengambil dari filsafat dan pandangan rasional Abduh yang radikal, beliau cuba mengangkat ajaran-ajaran filsafat dan asas-asas rasional yang diilhamkannya, bagi menentang kejumudan dan mendobrak benteng taqlid, dan mengembangkan filsafat dan pandangannya yang signifikan yang mempertahankan posisi nalar yang esensil “yang mengedepankan akal dalam menyelesaikan problem teologis”[22]

Idealisme perjuangan yang berpengaruh dan filsafat rasional yang ditegakkan memberi kesan yang mendalam terhadapnya, di mana “Jamaludin Al Afghani atau Muhammad Abduh…mereka adalah orang- orang yang ingin membangkitkan Umat Islam dari keterlambatannya dan kebodohannya, agar mereka dapat mempertahankan diri dari imperialisme Barat yang pada waktu itu merajalela dimana-mana.”[23]

Dasar pemikiran yang mendorong daya akliah dan ijtihad ini sangat mengesankannya, di mana “Harun sangat tidak tertarik dengan ulama’-ulama’ yang menimbulkan paham taqlid buta di kalangan umat dan menyebabkan orang Islam berhenti menggunakan akalnya. Sikap seperti itu bahkan dipandang Harun bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadith.”[24]

 

Nota Kaki:

[1] Harun Nasution, Islam rasional gagasan dan pemikiran (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), 341.

[2]Robert R. Relly, Tertutupnya Pemikiran Kaum Muslimin, terj. Shuhaib Ar Rumy Ismail, ed. Ahmad Farouk Musa (Kuala Lumpur: Islamic Renaissance Front, 2017).

[3] Harun Nasution (1989), op.cit., 154.

[4] M Mushthafa, “Rasionalisme Menuju Dinamisme” (Resensi Buku “Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran”) Majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA) (Departemen Agama Jawa Timur, April, 1996).

[5] Iswara N Raditya, 2018, op.cit.

[6] H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution: tentang “Islam ditinjau dari berbagai aspeknya” (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),145.

[7] Ibid, 5.

[8] Ibid, 129.

[9] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985), 43.

[10] Ibid.

[11] Harun Nasution, “The Place of Reason in Abduh‟s Theology: Its Impact on his Theological System And Views” (Tesis Ph.D., Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, 1968, 1.

[12] Harun Nasution (1985), op.cit., 21.

[13] Ibid, 113.

[14] Iswara N Raditya, 2018, op.cit.

[15] Nurcholish Madjid, 1989, op.cit., 103, A. Akhiyat, 1996, op.cit.

[16] Akhiyat, Ibid.

[17] Muhammad Irfan, “Paradigma Islam Rasional Harun Nasution: Membumikan Teologi Kerukunan” JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama, 1 (1), 2018), 109-127.

[18] H.M. Rasjidi (1977), op.cit., 136.

[19] ‘Abd al-Karim al-Shahrastani, Kitab al-milal wa al-nihal (Kaherah: Mu’assasah al-Halabi, 1967), terj. A.K. Kazi dan J.G. Flynn (London: Kegan Paul International, 1984), 45.

[20] Harun Nasution, 1968, op.cit.

[21] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1978), 47.

[22] Achmad Rifki, 2015, op.cit.

[23] H.M. Rasyidi, 1977, op.cit., 110.

[24] Harun, 1996, op.cit, 175, Iswara N Raditya, 2018, op.cit.

 

RUJUKAN

‘Abd al-Karim al-Shahrastani, Kitab al-milal wa al-nihal (Kaherah: Mu’assasah al-Halabi, 1967), terj. A.K. Kazi dan J.G. Flynn (London: Kegan Paul International, 1984).

‘Abu‟ al-Hasan ‘Alī ibn Ismā’īl al-Ash’arī’s al-Ibānah ‘an usūl ad-diyānah (The Elucidation of Islam’s Foundation). Terj. Walter C. Klein (American Oriental Series. Vol. 19.) New Haven: American Oriental Society, xiii + 143, 1940.

Achmad Rifki, “Mahaputra bagi Harun Nasution dan Kembalinya Islam Rasional” (15 Ogos, 2015), madinaonline.id

Adenan, Ilhamuddin, Amroeni Drajat, “The Contribution of Harun Nasution’s Thoughts in Islamic Reform in Indonesia” IOSR Journal of Humanities and Social Science (IOSR-JHSS) 22 (8) II. 66-74, 2017.

Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insani Press, 2006).

Akhiyat, “Studi Teologi Harun Nasution” (Skripsi Sarjana, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 1996).

Choirul Anam, “Dari Teologi Rasional hingga Konsep Negara Islam Menelusuri Jejak Pemikiran Harun Nasution” (Skripsi Sarjana, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 1992)

Fauzan Saleh, Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia: A Critical Survey (Leiden: Brill, 2001).

Harun Nasution, “The Islamic State in Indonesia: The Rise of the Ideology, the Movement of its Creation, and the Theory of the Masjumi” (Tesis M.A., Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, 1965).

____________, “The Place of Reason in Abduh‟s Theology: Its Impact on his Theological System And Views” (Tesis Ph.D., Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, 1968).

____________, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)

____________, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1974).

____________, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).

____________, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1978).

____________, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985).

____________, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986).

____________, Islam rasional gagasan dan pemikiran (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989).

____________, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991).

____________, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 2003).

H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution: tentang “Islam ditinjau dari berbagai aspeknya” (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).

  1. Aqib Suminto et. all., Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution (Ciputat: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989).

Ishak, Mohd. Shuhaimi, Islamic Rationalism: A Critical Evaluation of Harun Nasution’s Thought (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2009).

____________, “The Role of Intellect (Al-‘Aql) in the Discourse of Harun Nasution” Jurnal Usuluddin, (30) 111-133, 2009.

____________, “The Influence of Muhammad „Abduh on Harun Nasution‟s Theological Discourse”. Hamdard Islamicus, XXXIII (1), 31-50, 2010.

Iswara N Raditya, “Memadukan Wahyu dan Akal: Berislam ala Harun Nasution” (15 Mei 2018), tirto.id - Humaniora.

Karel A. Steenbrink, “Dari Kairo Hingga Kanada dan Kampung Utan (perkembangan Pemikiran Teologis Prof. Harun Nasution)” dalam Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989).

M Mushthafa, “Rasionalisme Menuju Dinamisme” (Resensi Buku “Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran”) Majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA) (Departemen Agama Jawa Timur, April, 1996).

Muhammad Irfan, “Paradigma Islam Rasional Harun Nasution: Membumikan Teologi Kerukunan” JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama, 1 (1) 109-127, 2018.

Nurcholish Madjid, “Abduhisme Pak Harun”, dalam Aqib Suminto, ed., Refleksi Pembaharuan Islam (Jakarta: ISAF, 1989).

Richard C. Martin, Mark R. Woodward, Dwi S. Atmaja, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld Publications, 2003).

Sohirin Mohammad Solihin, Emergence and Development of Liberal Islam in Indonesia: A Critical Evaluation


Dr Ahmad Nabil Amir adalah sarjana kedoktoran dam bidang Usuluddin daripada Universiti Malaya. Beliau juga adalah Ketua Abduh Study Group, Islamic Renaissance Front. Esei ini diterbitkan oleh Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian KeIslaman; Jilid 8 Nomor 1 pada I Juni 2020.

 




View original article at: https://irfront.net/post/others/pengaruh-rasionalisme-abduh-dalam-pemikiran-harun-nasution-bahagian-ii/