Lingga II

July 24, 2013 by Achmad Fadil Ubaidillah

Lingga anakku, aku pernah berkisah tentang seorang perempuan yang luar biasa, perempuan yang mengajarkanku soal ketulusan, yang memberiku semangat untuk terus berkarya. Aku menjadi seorang yang engkau kenal hari ini tidak lepas dari celotehnya, celoteh tentang arti hidup yang tidak hanya sebatas definisi dan terminologi yang sering membuatku sesak. Arti hidup baginya adalah kesederhanaan bahasa tetapi kaya dalam gerak. Menurutnya, sia-sia ucapan ditumpah ruah tetapi pada saat yang sama terbunuh percuma oleh sebab pesimisme oleh karena kemalasan sosial yang hanya memojokan diri manusia pada kekosongan.

5345435434Lingga anakku, ada sebuah peristiwa. Tentang air terjun yang membentuk tirai putih yang indah, tentang rerumputan yang menjelma padang hijau terhampar, tentang awan putih yang menyerupa wajah rupawan. Ini baru tentang keindahan, sebab ada kenyataan lain yang bisa kita saksikan. Kenyataan tentang langit menghitam, tentang cakrawala yang lindap, tentang daratan yang karam, tentang lahar tumpah ruah dan tentang kenyataan lain yang pernah kita jumpai atau tidak sama sekali.

Lingga anakku, untuk apa engkau gusar menghadapi kenyataan hidup yang sewaktu waktu bahkan acapkali penuh ironi, sebab engkau hidup bukan di ruang imajinasi. Ironi itu tentu akan engkau saksikan dan alami di banyak waktu. Inilah wajah hidup ketika paradoks lebih senang hadir ketimbang absen di kehidupan nyata, disaat harapan harapan indah tidak selalu menyerupa indahnya fakta fakta, disaat perbuatan perbuatan indah belum tentu berbuah hasil yang serupa keindahannya.

Anakku, tidak selamanya wajah hidup yang cerah menjelma potret kelam, tidak seutuhnya arena hidup ini adalah ruang bagi para srigala buas yang gemar menikam menerkam meskipun realitas hidup tidak ubahnya hutan rimba. Tetapi di kehidupan mereka, ada ribuan ikan yang bermigrasi ribuan mil, dengan cara berpuasa mereka berenang dari lautan menuju hulu sungai, setiba disana mereka bertelur lalu mati sebab lelah tetapi kehidupan baru kemudian bermula, setelah mereka berjuang melawan arus, usai mereka berjuang menghindari para pemangsa. Begitu indah pengorbanan dan perjuangan mereka. Itulah hidup dengan wajah yang beda, kenyataan yang berbeda, kenyataan baru yang sudah semestinya engkau buat bukan sekadar berdiam diri menerima kenyataan saja.

Lingga anakku, Tuhan menjadikan kita manusia bukan untuk diam. Kita mesti berpikir, kita mesti bergerak, kita harus berkarya untuk kebaikan alam semesta

Lingga anakku, raja atau jelata, orang kaya atau orang yang tidak punya, tetap saja sama, sama sama manusia. Satu yang beda. Memilih menjadi orang baik atau malah sebaliknya.

Lingga anakku, engkau tidak boleh diam saja, menunggu lahirnya kenyataan baru tanpa melakukan apa apa, engkau harus sadar, engkau adalah manusia, engkau harus berpikir, engkau juga semestinya berbuat sesuatu sebab engkau adalah manusia.

Lingga anakku, diam itu emas. Engkau mungkin sering mendengar ungkapan itu. Pada beberapa hal kita bisa setuju, tetapi dalam banyak peristiwa kita mesti tidak bersepakat. Menyaksikan penindasan berkepanjangan apakah kita mesti diam? Melihat kebiadaban berkepanjangan apakah kita mesti diam? Menghadapi kemanusiaan dilecehkan apakah kita juga tetap memilih diam? Tentu jawabannya bukanlah diam. Maka bergeraklah anakku, meski gerakanmu adalah senyap sekalipun sebab itulah siyasat. Bergeraklah anakku meskipun dengan cara yang terbuka.

Lingga anakku, untuk membuat perubahan, kita perlu menyadarkan orang orang untuk bangun dari tidur panjangnya dari buaian mimpi mimpinya meskipun banyak orang percaya bahwa kemajuan berawal dari mimpi mimpi yang mesti dipunya seseorang. Tetapi apalah arti mimpi tanpa kemauan, apalah makna kehebatan jika tidak disertai keinginan memulai sesuatu. Untuk itu anakku, perubahan tidak butuh orang orang hebat, tidak perlu orang orang besar untuk memulai sesuatu tetapi orang orang yang mau, orang orang yang ingin memulai sesuatu hingga kehebatan dan kebesaran terwujud.

Lingga anakku, engkau tidak boleh lemah! Engkau mesti tegak seperti gunung yang berdiri, engkau mesti berdiri seperti pohon yang tegak! Engkau tidak boleh diam! Engkau mesti bergerak seperti angin yang berhembus, seperti gelombang ombak yang berlari. Engkau tidak boleh angkuh! Engkau lihat padi yang berisi tapi dia menunduk. Engkau juga mesti tenang setenang telaga yang hening.

Lingga anakku, kehidupan kita bukan kehidupan para raja yang dikisahkan sejarah, kehidupan kita bukan kehidupan para bangsawan yang tertulis dalam lembaran roman, kehidupan kita juga bukan kehidupan para resi yang diwartakan para pencerita, kehidupan kita adalah kehidupan kaum jelata yang punya kisah hidup tersendiri yang berbeda dengan mereka meskipun bisa jadi nasib kita kelak sama seperti mereka. Lingga anakku, inilah hidup yang mesti kita jalani sekarang meskipun kita punya mimpi besar tentang esok nanti dan di waktu mendatang. Inilah jalan hidup yang mesti kita tempuh dengan simpuh bukan dengan pasrah mengeluh.

Lingga anakku, bahkan di dunia mimpi sekalipun, tidak semua hal adalah keindahan dan pasti ada peristiwa di tidurmu yang membuatmu terhenyak saat engkau terjaga lalu engkau diam termenung sejenak. Entah soal ketakutan, kecemasan atau kejadian apapun yang jauh dari keindahan yang engkau harap hadir di mimpimu yang berumur sebentar. Apalagi di dunia nyata, sebuah ruang berbagai macam peristiwa. Inilah kehidupan kita, mahluk yang menyandang gelar manusia.

Lingga anakku, TUHAN menjadikan kita manusia bukan untuk menjadi manusia sia sia yang tidak punya arti apa apa, TUHAN menjadikan kita mahluk yang hidup bukan hanya untuk mati lalu tidak bermakna sama sekali.

ws-rendra-6543216873Lingga anakku, setiap manusia mempunyai kisah dan sejarahnya sendiri-sendiri dan sejarah sudah tentu bukan sekadar nama, tempat dan waktu, tetapi sejarah adalah soal pandangan dan pilihan. Karena itu, kau bisa memilih menjadi Fir`aun dan Namruz di zaman ini! Itu hakmu! Tetapi aku yakin engkau tahu bagaimana nasib mereka, bagaimana sikap dan watak buruk mereka meskipun bisa saja tidak semua orang mengamininya. Itulah sejarah, karena sejarah juga soal persepsi dan interpretasi. Aku juga yakin engkau akan belajar untuk tidak mengulanginya, engkau akan bersikap jujur untuk memberikan penilaian. Itulah sejarah! Karena sejarah juga soal pelajaran hidup dan kehati-hatian, soal kejujuran dan kearifan, soal kepedulian dan kewaspadaan.

Lingga anakku, engkau begitu senang membaca dan membincangkan ihwal teori dan praktik kekuasaan. Coba engkau lihat buah ranum di pohon itu! Menggiurkan bukan? Meskipun engkau belum tentu ingin memetiknya. Entah sebab tidak tertarik atau buah itu memang tidak menarik bagimu. Meskipun engkau juga belum tahu pasti rasanya seperti apa. Entah manis atau bahkan sebaliknya. Tetapi maksudku bukan soal itu melainkan soal tafsir dan cara orang yang beragam dalam memperolehnya. Kiranya itulah realitas kekuasaan yang mengemuka di banyak zaman.

Lingga anakku, sesungguhnya kita tidak sedang menyaksikan wajah politik ideal sebab idealitas yang didambakan banyak jiwa sedang dibungkam hingga diam, sedang dipaksa menjauh sampai enyah. Engkau saksikan saja kenyataan yang kita lihat dan dengar sekarang, citra telah menundukan kerja kerja, simbol-simbol telah dinarasikan dengan sangat hiperbol. Aku yakin, engkau pasti muak tetapi inilah kenyataan hidup yang sedang kita alami. Realitas politik hanya menjadi arena pertarungan simbolik yang membosankan bukan arena pencapaian harapan harapan kebaikan.

Manipulasi simbolik pun seolah nyaris tak pernah absen mengiringi setiap pertarungan yang hadir di banyak waktu, di berbagai ruang. Lakon lakon yang menganggap diri suci di depan khalayak ramai belum tentu berarti suci dalam niat dan tingkah laku sesungguhnya meskipun ucapan dan tutur katanya menyuratkan klaim klaim kesucian. Lakon lakon yang dianggap jahat pun belum tentu sejahat citra yang diciptakan lawan lawannya, belum tentu jahat dalam niat, ucapan dan perbuatan sesungguhnya. Sebab itu anakku, kita tidak boleh terkecoh, kita tidak harus terjebak klaim palsu manusia manusia pendusta.

Lingga anakku, kita bukan wayang, benda mati yang digerakan dalang sesuka hati. Kita adalah manusia, mahluk yang punya kebebasan menentukan jalan hidup kita sendiri, kebebasan yang telah kita rebut dari kuasa politik yang licik, dari kuasa modal yang bebal, dari kumpulan mahluk culas yang tak waras

Lingga anakku, jika kelak Tuhan memosisikanmu pada strata sosial yang dipandang luhur oleh banyak orang, tempatkanlah dirimu sebagai saudara sebagai sahabat untuk mereka bukan sebagai penakluk apalagi penindas, sebab hubungan dengan sesama jika dibangun dengan penaklukan apalagi penindasan, bukan atas dasar persaudaraan dan persahabatan, bersiap siaplah untuk menerima kenyataan pahit yaitu perlawanan. Jikapun kesetiaan itu datang dari mereka untukmu, percayalah bahwa kesetiaan itu bukan datang dari hati melainkan hanyalah kepura-puraan

Lingga anakku, penjajah, siapapun mereka dan dari latar belakang apapun mereka, penjajah tetaplah penjajah, penindas adalah penindas, tidak mengurangi sedikitpun kadar kebiadaban mereka, tidak menambah sedikitpun kadar keberadaban mereka. Kita pernah mendengar dan semoga tidak pernah lagi kita dengar, berbilang orang berucap, lebih baik dijajah Inggris, sebab setelah merdeka keadaannya lebih baik dari kita yang pernah dijajah Belanda. Lalu ada juga orang berkata, Jepang menjajah kita lebih parah saat Belanda berkuasa. Sekali lagi penjajah adalah penjajah, apapun bangsa mereka, warna kulit mereka bahkan jika mereka adalah bangsa kita sendiri, kita semua harus berani memanggil mereka penjajah sebab penjajahan seperti apapun bentuknya, bagaimanapun peristiwanya tetaplah tragedi kemanusiaan yang memanggil rasa kemanusiaan kita, nalar kemanusiaan kita.

Lingga anakku, satu hal yang paling menyedihkan tentang heroisme peristiwa revolusi politik adalah bukan hanya saat revolusi menyisakan peristiwa tangis dan duka, melainkan ketika revolusi kemudian hanya melahirkan elit elit baru yang mengulang perilaku lama yang ditentang para pejuang yang telah rela mendekam di balik jeruji, rela melawan senapan, rela mati terkapar

Lingga anakku, dahulu, sebelum kebebasan menjadi udara yang segar, ada anak anak muda yang bergerak gagah berani, menundukan rasa takut mereka meski harus berhadapan dengan para serdadu, meski harus mendekam di balik jeruji bahkan meski harus tumbang diterjang peluru. Itulah kenyataan pahit yang mereka alami sebab menyuarakan kebenaran, suara yang menjelma sangkakala, membangunkan amarah yang tidur lelap. Itulah potret kepahitan yang rela mereka terima sebab menceritakan kebenaran yang tidak kalah pahitnya, kebenaran tentang kemiskinan yang meraja, kebenaran tentang penyimpangan yang bertahta.

Lingga anakku, engkau hidup berarti engkau punya kebebasan bernafas, tetapi belum tentu engkau punya kebebasan lain di kehidupanmu yang dibatasi tirani, dibungkam mahluk tiran. Sebab itu anakku, kemauan saja tidak punya arti apa apa tanpa keberanian melawan.

Lingga anakku, ini tentang kebudayaan tetapi selama kebudayaan masih diperlakukan hanya sebagai benda mati dan selama kebudayaan tidak segera diubah menjadi kata kerja, maka kita dan generasi setelah kita hanyalah cukup menjadi generasi penonton karya karya para pendahulu, hanya cukup menjadi pendongeng masa lalu, hanya cukup menjadi generasi yang pandai beretorika berkata kata, bukan kreator kreator baru, bukan inovator inovator baru dan bukan pemimpin pemimpin baru yang berkemauan melahirkan kenyataan kenyataan baru.

Lingga anakku, perbuatan yang engkau lakukan sesuai nurani dan norma tidak harus berbuah jawaban manis yang sudah pasti manusia inginkan. Keinginan demikian tentu manusiawi adanya. Tetapi jika ternyata orang lain membenci perbuatanmu, biarlah mereka membencimu, mencercamu dengan cacian daripada meluruhkanmu dengan puja puji yang tidak memberikan arti hidup apa apa untukmu. Biarlah hardik dan caci menjadi pertanyaan hidup yang mesti engkau jawab dengan perbuatan yang lebih jauh memberikan arti bagimu, bagi orang terdekatmu dan bagi orang lain yang jauh dari kehidupanmu.

Lingga anakku, engkau dan manusia manusia seusiamu adalah bunga bunga yang berkembang, bunga bunga yang harum, bunga bunga yang disuka dan dinantikan banyak jiwa, jiwa jiwa yang jujur dan terbuka, jiwa jiwa yang punya kesenangan membuat dan menyaksikan kenyataan baru yang indah bukan kenyataan pahit yang menghimpit. Sebab itu anakku, tetaplah tumbuh berkembang, tetaplah mewangi bagi banyak generasi. Engkau adalah belia, kaum muda yang berani. Lingga anakku, aku teringat sebuah pepatah mengatakan, "kebun bunga bisa dibakar para perompak, tetapi tidak seorangpun dapat menghadang datangnya musim semi." Karena itu anakku, aku mesti ulang ucapanku, teruslah tumbuh berkembang dan teruslah mewangi!

Lingga anakku, ingatlah kejujuran adalah matahari dan setiap hari, matahari pasti terbit meskipun dia akan terbenam, walaupun seringkali dia terhalang kelam.

Lingga anakku, ada banyak manusia berjasa tanpa tanda jasa yang namanya terbuang dari ratusan bahkan ribuan halaman sejarah, tetapi tetap saja hidup mereka tidak sia sia sebab mereka telah meninggalkan samudera makna setidaknya bagi kehidupan kita sekarang dan di waktu waktu mendatang. Sebab itu anakku, ceritakanlah kisah hidup mereka apa adanya dan teruslah engkau menulis! Kelak tulisanmu adalah buah tangan untuk masa depan.

Lingga anakku, Aku teringat perkataan seorang sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer seperti terekam dalam Novelnya, Bumi Manusia, “Kasihan hanya perasaan orang berkemauan baik yang tidak mampu berbuat. Kasihan hanya satu kemewahan, atau satu kelemahan. Yang terpuji memang seorang yang mampu melakukan kemauan baiknya.”

Aku juga ingat perkataan Rendra dalam syair Sajak Seorang Tua untuk Isterinya, “hidup ádalah bekerja membalik tanah, memasuki rahasia langit dan samudra, serta mencipta dan mengukir dunia. kita menyandang tugas, karena tugas adalah tugas. Aku sadar ini bukanlah pekerjaan mudah, tidak semudah membalik telapak tangan, tidak sesederhana kita mengucapkannya. Aku juga sadar, inilah tugas kemanusiaan yang amat suci, tugas kita semua mengoperasionalkan agama sebagai pembebas manusia dari belenggu kemiskinan, kemiskinan manusia di abad industri, kemiskinan manusia yang lebih disebabkan struktur yang menindas bukan hanya karena mental pemalas.”

Lingga anakku, di detik ini aku kembali teringat ibumu, sama sepertimu, aku juga begitu rindu pada ibumu. Ibu yang telah berjuang membesarkan dan mendidikmu tanpa lelah meskipun dalam situasi hidup penuh keterbatasan, meskipun tanpa kehadiranku dalam waktu yang lama, karena aku bekerja di tempat yang jauh, tempat yang aku pilih atas izin ibumu. Anakku, ibumu, adalah perempuan yang telah mengajarkan aku tentang banyak hal, tidak hanya soal kasih sayang tetapi juga soal ketulusan dan ketabahan menanti, menunggu aku dalam penantian yang tidak sebentar. Aku berada jauh darimu, darinya. Pilihan hidup yang sengaja kami pilih untuk kelangsungan kehidupan kita. Anakku, aku begitu rindu atas hadirnya.

Sekarang aku tahu rasanya menjadi orang yang membutuhkan kesempatan kedua, kesempatan untuk terus dekat, kesempatan untuk terus bersama meskipun aku sadar itu tidak mungkin.

Lingga anakku, kini kau telah memberikan aku cucu yang yang aku dambakan sejak lama, sama sepertimu, mereka adalah anugerah TUHAN yang teramat indah untuk aku dan ibumu. Didiklah mereka dengan cinta dan ketulusan, ajari mereka tentang kasih sayang dan kebaikan, kelak mereka akan tahu betul artinya, mereka akan menikmati buahnya, buah cinta dan ketulusan yang ranum, buah kasih sayang dan kebaikan yang manis rasanya, jikapun kelak buahnya adalah kepahitan yang jauh dari kehendak kalian, maka itulah kehidupan, itulah perjalanan hidup yang mesti kalian hadapi dengan sabar meskipun perasaan gusar pasti hadir sebab kalian adalah manusia, mahluk yang punya gelisah dan keluh kesah.

Lingga anakku, Sesungguhnya aku masih ingin berkawan pagi, siang dan malam. Aku masih ingin menyaksikan matahari terbit dan terbenam, menyaksikan bulan muncul dan tenggelam, menyaksikan gerimis dan hujan lebat, menyaksikan riak sungai dan ombak lautan dan aku masih ingin mendengar desir suara angin, mendengar gelegar halilintar.

Aku ingin hidup lama tetapi kematian membatasi keinginan kita. Peristiwa hidup memanglah takdir manusia mengalami kematian.

Wahai kematian, jika engkau datang menjemputku, aku ingin melihatmu hadir sebagai wajah yang lemah dan lembut bukan sebagai malapetaka dan bencana, aku juga ingin menemuimu bukan dalam kekalutan dan ketakutan, aku ingin menjumpaimu seperti saat angin semilir menyentuhku dan aku begitu tenang dan damai.

Lingga, sudah lama aku tidak melihat engkau menangis. Tidak usah engkau bersedih! Ikhlaskan kepergianku jika kematian adalah takdir TUHAN untuk aku saat ini. Lingga, jika aku pergi selamanya, kuburkan jenazahku disamping makam ibumu.




View original article at: https://irfront.net/post/opinion-features/lingga-2/