2014: Menerobos Dikotomi Sipil-Militer

September 5, 2013 by Hasnan Bachtiar

437289432aFenomena Jokowi cukup menggemparkan. Pasalnya, itulah yang melahirkan kembali demokrasi kerakyatan. Kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ini tentu menginspirasi kita untuk menerawang, apakah Pemilu 2014 nanti, masih perlu ketakutan akan bayangan dikotomi sipil-militer?

Mafhum, kita ketahui bersama bahwa, tatkala membaca 2014, mayoritas rakyat sangat terbebani oleh Militerisme Orde Baru. Sebagai suatu memori sosial, rezim Orde Baru memiliki nilai tersendiri di hadapan publik. Meskipun, pasca pemerintahan Reformasi, Orde Baru menanggung pelbagai stigma negatif, karena menurut Henk Schulte Nordholt, segala kesalahannya telah terbongkar (2006).

Seorang sastrawan terkemuka, Pramoedya Ananta Toer menegaskan bahwa, militer-lah yang menyebabkan hidup bernegara ini tidak pernah merdeka. Mungkin ini pengalaman subyektif, yang hanya dialami secara pribadi Pram sebagai tahanan politik era militer. Namun, dalam buku yang berjudul “Tentara” yang ditulis oleh Romo Yb. Mangunwijaya, dinyatakan bahwa, “...dalam suatu sistem, di mana kaum bersenjata ikut menentukan keputusan, haluan dan tata negara tidak mungkin demokratis. Bila tidak berhati-hati bahkan dapat menjurus ke semacam banditisme kenegaraan... tidak terkecuali Indonesia.” (1999).

Kedua pandangan ini layak diperhitungkan. Bila yang pertama diungkapkan berdasarkan pengalaman empiris, sementara yang kedua terekspresikan melalui sudut pandang politik yang rasional. Menurut uji ilmiah-akademik, kedua hal ini sudah mencukupi untuk menolak pemimpin militer. Memang masuk akal bila penguasa negara kita adalah militer, - karena ia memiliki senjata yang tidak dimiliki orang sipil - maka negara akan meruntuhkan sistem demokrasi dan menggantinya dengan monarki yang tirani. Lenyaplah ide Jokowian yang diimpikan seluruh rakyat Indonesia.

Demikian pula sebaliknya. Tatkala rakyat berharap pada pemimpin dari golongan sipil, masih saja diliput segala keraguan. Pasalnya, ketidakmampuan sipil dalam meredam segala gejolak politik yang kompleks, tentu saja tidak mendapatkan sedikit pun kepercayaan rakyat. Dengan kata lain, bila sipil tidak memiliki kekuatan tangan besi, agaknya mustahil akan mengusir seluruh pelaku gaduh dan tindak kekerasan yang memicu disintegrasi sosial.

Soekarno sebagai wakil sipil memang pernah menjadi pemimpin Orde Lama, tetapi hanya sebentar. Menyusul Habibie sebagai pengganti Soeharto, Gus Dur yang tidak berjalan mulus dan Megawati yang memimpin hanya satu periode. Saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), adalah wakil dari militer. Sebenarnya bukan durasi waktu yang perlu diperhatikan, namun kualitas kebebasan, keadilan sosial dan kesejahteraan di tengah masyarakat.

Dalam kepemimpinan Orde Lama mungkin rakyat dimabuk anggur heroisme. Situasi ini penuh dengan drama perlawanan terhadap penjajah dan berpuncak pada proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada zaman ini, standar berdemokrasi belum dipenuhi secara purna.

Pada Orde Baru, mungkin banyak orang merasakan ketakutan, teror, intimidasi dan ketidakbebasan dalam berekspresi dan berpendapat. Kendati keadilan sosial hanyalah mimpi, rakyat merasa lebih sejahtera ketimbang masa-masa yang dipimpin oleh para pemimpin setelah Soeharto. Sepanjang 1999-2012, William Liddle mengamati bahwa kondisi keadilan lebih baik dari sebelumnya, meskipun kesejahteraan tak kunjung tiba, malah hari demi hari semakin sulit.
Banyak pengamat politik memberikan kritik bahwa, kesejahteraan rakyat semakin sulit, karena memang tidak berdaulat. Pemimpin sipil lebih mengabdi untuk dirinya sendiri, partainya dan golongannya, dari pada kepada negara. Belakangan malah marak trend partitokrasi (J. Kristiadi, 2011). Ini adalah kondisi di mana partai yang lebih berkuasa dari pada penguasa yang sebenarnya, pemilik kebijakan atau pemerintah.

Akibatnya, segala keputusan politik yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, tidak banyak disinggung, bahkan menjadi hal yang sama sekali tidak penting. Di lain pihak, kebijakan publik yang berhubungan dengan kepentingan dan keberlangsungan beberapa pihak, khususnya kepartaian, itulah agenda utama “berbangsa dan bernegara”.
Demokrasi hanyalah ucapan, sekiranya orang waras tidak menyebut bahwa kita masih belajar tentangnya. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi trend yang tidak kalah mentereng dengan sandangan istilah “selebritis” pada artis-artis. Negara ini menjadi negara yang mungkin, hanya sandiwara.

Singkat kata, militer tidak berkeadilan, sementara sipil tidak menyejahterakan. Keduanya hanya mengabdi kepada hasrat politiknya sendiri, yang enggan peduli terhadap nasib rakyat. Bila militer hanya peduli pada kelompoknya sendiri, demikian pula dengan sipil, yang hanya menaruh perhatian pada partainya sendiri. Lalu di mana kedaulatan rakyat? Masihlah menjadi punguk yang setia merindukan rembulan.

Pandangan Lain
Polemik yang selama ini terjadi di masyarakat adalah, apakah presiden kita nanti orang sipil, ataukah militer. Sementara yang terlupa di tengah masyarakat adalah, bukan soal asal-usul dan golongan. Demokrasi substansial belum menjadi sentral ide yang mampu menggerakan hati para calon pemimpin, partai, maupun pemilih.

Amartya Sen menyatakan bahwa, demokrasi merupakan nilai universal yang menyinari kemanusiaan (1999). Dengan demikian, pemimpin, adalah manusia yang menanggung ruh demokrasi ini. Demokrasi harus menjadi ideologi, sudut pandang dan garis pijak yang menuntun bukan hanya roda pemerintahan, tetapi juga penyejahteraan rakyat.

Persoalannya, adakah calon presiden untuk pemilu 2014 yang cinta betul terhadap demokrasi? Lalu, apakah pemilih juga dapat mengidentifikasi, bagaimana dan siapakah pemimpin yang memperjuangkan demokrasi tersebut? Dari sinilah kiranya, sejak saat ini pula menghapus dikotomi Sipil-Militer, yang membuat pandangan kita menjadi dangkal terhadap demokratisasi di Indonesia.
Mau tidak mau, kita harus menerobos hitam-putih yang akan menjerumuskan kita pada nista narsisme, chauvinisme, militerisme, konservatisme dan pelbagai paham lain yang tidak menaruh belas kasihan terhadap kemanusiaan yang hakiki. Kita tidak boleh lagi berpijak pada paham yang sempit bahwa, demokrasi hanya milik kelompok tertentu saja.

Perlu kiranya memanusiakan militer dan sipil. Siapa pun memiliki kesempatan yang sama untuk berlomba dalam kebajikan. Jika demikian berarti, agenda utama kita adalah mendobrak paham lama dalam alam bawah sadar kita dan menyadari sepenuhnya bila demokrasi yang universal-lah yang menjadi pilihan kita.

Dengan demikian, bukan militer yang kita pilih walau pernah memberi kesejahteraan, namun membuat keadilan menjadi sangat timpang. Di sisi lain, bukan pula sipil yang membebaskan rakyat namun sama sekali tidak sejahtera. Sejak sekarang, kita hanya memilih mereka yang memiliki abilitas untuk memperjuangkan kebebasan, keadilan dan kesejahteraan dalam satu kesatuan yang utuh.

Mari kita mengambil manfaat dari fenomena Jokowi. Pada akhirnya, semoga Jokowian menjadi trend politik dan pemerintahan masa depan, yang benar-benar memihak rakyat, bukan partai, bukan golongan dan bukan pemilik modal atau pasar.


Hasnan Bachtiar adalah Peneliti Filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang




View original article at: https://irfront.net/post/opinion-features/2014-menerobos-dikotomi-sipil-militer/