Prinsip Pemerintahan dalam Islam Menurut Muhammad Asad – Bahagian II

February 27, 2015 by Dr Ahmad Nabil Amir

Prinsip Keadilan dan Maqasid Syar’iyyah

Justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought” [John Rawls, A Theory of Justice]

“Keadilan adalah keutamaan pertama bagi institusi sosial, sebagaimana kebenaran bagi sistem pemikiran” [John Rawls, A Theory of Justice ]

 

1.Para3Dalam menegakkan prinsip negara hukum, ia berbalik kepada maqasid syar’iyyah dan aspirasi keadilan dan kebebasan yang digariskannya yang menjadi teras dalam corak pemerintahan yang digagaskan oleh Asad. Dalam tafsirnya yang agung - The Message of The Qur’an – tentang kebijakan hukum, beliau menjelaskan keyakinannya terhadap hikmah dan ketinggian hukum syarak seperti dipaparkan dalam komentarnya yang ekstensif pada surah al-Maaidah ayat 38 (5: 38) yang mengungkapkan kefahaman dan analisis perundangan yang mendalam dengan keutamaan untuk menegakkan asas maslahah dan maqasid syar‘iyyah bagi menjamin keadilan dan mempertahankan idealisme moral dan prinsip tatakelola yang baik:

“Now as for the man who steals and the woman who steals, cut off the hand of either of them in requital for what they have wrought, as a deterrent ordained by God.”

[Adapun bagi lelaki yang mencuri dan wanita yang mencuri, potonglah tangan kedua mereka sebagai pembalasan terhadap apa yang mereka telah lakukan, sebagai suatu cegahan yang ditentukan oleh Tuhan]

 

Dalam tafsirnya “The Message of the Qur’an”, Muhammad Asad menyebut:

The extreme severity of this Qur'anic punishment can be understood only if one bears in mind the fundamental principle of Islamic Law that no duty (taklif) is ever imposed on man without his being granted a corresponding right (haqq); and the term "duty" also comprises, in this context, liability to punishment. Now, among the inalienable rights of every member of the Islamic society - Muslim and non-Muslim alike - is the right to protection (in every sense of the word) by the community as a whole.”

[Kekerasan yang bukan kepalang dari hukuman al-Qur’an ini dapat difahami hanya jika seseorang ingat prinsip yang fundamental daripada Undang-Undang Islam bahawa tiada tugas (taklif) yang pernah dipikulkan kepada manusia tanpa dia dianugerahkan hak (haqq) yang sejajar; dan istilah “tugas” juga mengandungi, dalam konteks ini, pertanggungan kepada hukuman. Sekarang, antara hak-hak yang tak terpisah dari setiap anggota masyarakat Islam – Muslim dan bukan Muslim dengan setara – adalah hak untuk diberi perlindungan (dalam segenap pemahaman dari perkataan ini) oleh masyarakat secara keseluruhan]

 

Sambungnya lagi dalam tafsiran yang panjang akan ayat ini:

As is evident from innumerable Qur'anic ordinances as well as the Prophet's injunctions forthcoming from authentic Traditions, every citizen is entitled to a share in the community's economic resources and, thus, to the enjoyment of social security: in other words, he or she must be assured of an equitable standard of living commensurate with the resources at the disposal of the community. For, although the Qur'an makes it clear that human life cannot be expressed in terms of physical existence alone-the ultimate values of life being spiritual in nature-the believers are not entitled to look upon spiritual truths and values as something that could be divorced from the physical and social factors of human existence.”

[Sebagaimana terbukti dari pelbagai ketetapan al-Qur’an dan juga perintah Nabi yang didapat daripada Hadith-Hadith yang sahih, setiap warganegara adalah berhak kepada habuan dari sumberdaya ekonomi masyarakat dan, justeru, kepada hak menikmati keselamatan sosial: dalam perkataan lain, dia harus terjamin dengan standard kehidupan yang wajar setimpal dengan sumber yang ada pada masyarakat. Kerana, walaupun al-Qur’an menjadikannya jelas bahawa kehidupan manusia tidak dapat diekspresikan dalam kewujudan fizikal semata – di mana nilai yang terakhir dari kehidupan adalah spiritual secara naturnya - orang-orang yang beriman tidak berhak untuk melihat kepada kebenaran dan nilai spiritual sebagai sesuatu yang dapat dipisahkan daripada faktor fizikal dan sosial dari kewujudan manu.]

 

Sambung Asad:

2.Para10“ In short, Islam envisages and demands a society that provides not only for the spiritual needs of man, but for his bodily and intellectual needs as well. It follows, therefore, that-in order to be truly Islamic - a society (or state) must be so constituted that every individual, man and woman, may enjoy that minimum of material well-being and security without which there can be no human dignity, no real freedom and, in the last resort, no spiritual progress: for, there can be no real happiness and strength in a society that permits some of its members to suffer undeserved want while others have more than they need.”

[Pendeknya, Islam membayangkan dan menuntut suatu masyarakat yang menyediakan tidak hanya kepada keperluan spirituil manusia, tetapi kepada keperluan tubuh dan inteleknya juga. Ia mengikuti, dengan itu, bahawa – untuk menjadi benar-benar Islamik – suatu masyarakat (atau negara) harus dibentuk di mana setiap individu, lelaki dan wanita, dapat menikmati habuan minimum dari kesejahteraan materi dan keselamatan yang tanpanya tidak akan ada kehormatan manusia, tiada kebebasan yang sebenar dan, pada akibat yang terakhir, tiada kemajuan spiritual: kerana, tidak akan ada kebahagiaan yang sebenar dan kekuatan dalam suatu masyarakat yang mengizinkan sebahagian dari anggotanya untuk menanggung kemiskinan yang tak sepatutnya sementara yang lain punyai lebih dari yang mereka perlukan.]

 

Sambungnya lagi:

Consequently, the social legislation of Islam aims at a state of affairs in which every man, woman and child has (a) enough to eat and wear, (b) an adequate home, (c) equal opportunities and facilities for education, and (d) free medical care in health and in sickness. A corollary of these rights is the right to productive and remunerative work while of working age and in good health, and a provision (by the community or the state) of adequate nourishment, shelter, etc. in cases of disability resulting from illness, widowhood, enforced unemployment, old age, or under-age. As already mentioned, the communal obligation to create such a comprehensive social security scheme has been laid down in many Qur'anic verses, and has been amplified and explained by a great number of the Prophet's commandments.”

[Alhasil, peraturan sosial Islam mengarah pada keadaan di mana setiap lelaki, wanita dan kanak-kanak mempunyai (a) cukup makan dan pakai, (b) rumah yang memadai (c) kemudahan dan peluang yang sama kepada pendidikan, (d) perawatan percuma dalam waktu sihat dan sakit. Akibat yang wajar daripada hak-hak ini adalah hak kepada pekerjaan yang produktif dan lumayan ketika dalam usia bekerja dan kesihatan yang baik, dan peruntukan (oleh masyarakat atau negara) dari makanan yang cukup, tempat berlindung, dan lain-lain. Jika kehilangan upaya berakibat daripada penyakit, menjadi janda, dibuang kerja, usia tua, atau di bawah-umur. Sebagaimana telah disebutkan, adalah menjadi kewajipan masyarakat untuk mewujudkan pelan keselamatan sosial yang komprehensif itu telah ditetapkan dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an, dan telah diperkuatkan dan diperjelas oleh banyak pengarahan Nabi.]

 

Sesungguhnya amat panjang kalau ingin dikutip kesemua tafsiran Asad akan ayat ini, namun cukup sekiranya diakhiri dengan bait-bait terakhir daripada tafsiran yang amat menyentuh dhamir ini:

3.Para15In a community or state which neglects or is unable to provide complete social security for all its members, the temptation to enrich oneself by illegal means becomes irresistible – and, consequently, theft cannot and should not be punished as severely as it should be punished in a state in which social security is a reality in the full sense of the word. If the society is unable to fulfill its duties with regard to every one of its members, it has no right to invoke the full sanction of criminal law (hadd) against the individual transgressor, but must confine itself to milder forms of administrative punishment. (It was in correct appreciation of this principle that the great Caliph ‘Umar waived the hadd of hand-cutting.”

[Dalam suatu masyarakat atau negara yang mengabaikan atau tidak mampu untuk menjamin keselamatan sosial yang sempurna ke atas semua anggotanya, kecondongan untuk memperkayakan diri sendiri secara haram menjadi tak tertepis – dan, alhasil, pencurian tidak harus dihukum sekeras sebagaimana ia harus dihukum dalam negara di mana keselamatan sosial adalah suatu realiti dalam maksud perkataan ini yang sepenuhnya. Jika masyarakat tidak mampu untuk memenuhi tanggungjawabnya terhadap setiap seorang daripada anggotanya, ia tidak mempunyai hak untuk menuntut hukuman yang sepenuhnya dari undang-undang jenayah (hadd) ke atas pelanggar hukum, tetapi harus membataskan dirinya kepada bentuk hukum administrasi yang lebih ringan. (Hal ini adalah dengan penghayatan yang tepat terhadap prinsip ini bahawa Khalifah ‘Umar melepaskan hadd potong-tangan].

 

Tafsirannya ini memperlihatkan aspirasi hukum yang diperjuangkan yang mempertahankan prinsip keadilan dan menekankan dasar maslahah dan maqasid syar’iyyah sebagai prasyarat untuk menegakkan undang-undang Islam, di mana tertegaknya keselamatan dan keadilan sosial yang menjamin hak dan tanggungjawab moral, selaras dengan tuntutan syari’at untuk mencapai keadilan daripada realisasi hukum. Dalam ertikata lain, adalah menjadi tugas kerajaan yang ingin dikenali sebagai sebuah kerajaan Islam memperjuangkan dan menjamin keadilan ekonomi, kesetaraan dan kesejahteraan sekelian penduduknya sebelum ia memperkenalkan undang-undang hadd.

4.Para19Tambahan pula di saat bencana alam yang baru menimpa yang telah menghancurkan rumah dan harta benda, yang menyebabkan rakyat ramai yang derita sengsara akibat kehilangan sumber kehidupan dan pekerjaan, maka lebih-;ebih lagilah keutamaan harus diberikan kepada hak-hak asasi rakyat sepertimana yang disebutkan tadi. Sifat terburu-buru dalam melaksnakan hokum hudud dan mengabaikan tugas utama sesebuah kerajaan dalam memastikan rakyat mendapat “a good life” (kehidupan yang baik) adalah satu pngkhianatan kepada tugas yang dipikulkan kepada sesebuah kerajaan.

 

The Islamic Millat

Kembali kepada kisah Muhammad Asad di Pakistan, secara tidak diduga, Department of Islamic Reconstruction yang dikepalai oleh Asad itu telah dibakar oleh para pengkhianat dalam keadaan penuh misteri. Kesemua hasil kajian dan dokumen penyelidikannya musnah terbakar bersama cita-citanya yang ingin melihat Pakistan menjadi Negara Islam contoh yang memperjuangkan keadilan, kebebasan dan kesetaraan serta menitikberatkan maslahah dan hak rakyat mengatasi hukuman hadd.

Asad kemudiannya dilantik sebagai “second-in-command” iaitu orang nombor dua Duta Pakistan ke Bangsa-bangsa Bersatu (United Nations). Hasrat Asad untuk melihat Depatment of Islamic Reconstruction menjadi katalis bagi percambahan ide dalan mengangkat nilai keagamaan dan sosial ummah terbantut.

5.Para22Namun, obor negara Islam yang diilhamkan oleh pujangga asal Pakistan, Iqbal itu, terus menyala dan telah memberikan landasan yang ideal dan menjadi katalis dalam perjuangan menggembling kekuatan Millat (umat Islam), the Islamic Millat yang transenden bagi menyatu dan merealisasi identiti mereka (khudi), ke arah penubuhan negara Islam yang sebenar, seperti dibayangkan oleh Maulana Iqbal:

Let us, therefore, draw new courage, new hope and – most of all – a new determination from all those terrible things that have happened to us, and let us turn our eyes towards the distant horizon on which God’s promise to His Millat is written in letters of light and glory “You shall triumph if you are faithful.”

[Marilah kita, justeru, menggembling kekuatan baru, harapan baru – yang paling penting – tekad baru dari semua perkara yang menyesakkan yang telah menimpa kita, dan marilah kita menghadapkan pandangan kita ke ufuk yang jauh di mana janji Tuhan kepada Millat Nya terpahat dalam huruf dari cahaya dan ketinggian “Kamu akan mencapai kejayaan sekiranya kamu beriman].

 

Struktur politik yang dibangun dan diasaskan oleh Asad tidak dapat dimanifestasi dalam politik kontemporer di Pakistan, namun tenaga yang disumbangkannya telah memberikan pencerahan yang memungkinkan pengaruh dan kekuatan politik dan dakwah Islam tersebar meluas di Timur. Peranannya ini pernah dihimbau oleh Sayid Abul A‘la Mawdudi dengan katanya:

Allama Muhammad Asad is one of the best gems West has ever given to Islam”.

[Allamah Muhammad Asad adalah salah satu daripada permata terbaik yang Barat pernah berikan pada Islam]

 

Dr Ahmad Nabil Amir adalah pemegang ijazah kedoktoran dalam bidang Usuluddin daripada Universiti Malaya. Beliau juga adalah Ketua, Abduh Study Group, Islamic Renaissance Front.

 

Bibliografi

  1. Abroo Aman Andrabi. Muhammad Asad: His Contribution to Islamic Learning. New Delhi: Goodword Books, 2007.
  2. Ahmad Syafi‘i Ma‘arif. Kegundahan Asad di Akhir Hayatnya. Diakses dari irfront.net/post/opinion-features/kegundahan-asad-di-akhir-hayatnya/ [September 9, 2014]
  3. Amartya Sen. The Idea of Justice. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 2009.
  4. Deny Fresyan. “Konsep Negara dalam Islam: Studi Pemikiran Muhammad Asad tentang Berdirinya Negara Islam”. Disertasi Sarjana, IAIN Walisongo Semarang, 2006.
  5. John Rawls. A Theory of Justice. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1999.
  6. Muhammad Asad. “Calling All Muslims”, Arafat: A Monthly Critique of Muslim Thought, 2: 86-108, 1948.
  7. Muhammad Asad. The Principles of State and Government in Islam. Berkeley: University of California Press, 1961.
  8. Muhammad Asad. Asas-Asas Negara dan Pemerintah di dalam Islam. Terj. Muhammad Radjab. Jakarta: Bhratara, 1964.
  9. Muhammad Asad. The Message of The Qur’an. Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980.
  10. Muhammad Asad. This Law of Ours and Other Essays. Gibraltar: Dar al-Andalus, 1987.
  11. Muhammad Asad. The Road to Mecca. New Delhi: Islamic Book Service, 2004.
  12. MA Sherif. Why An Islamic State: The Life Projects of two Great European Muslims. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust
  13. Talal Asad. “Muhammad Asad between Religion and Politics.” Kertas kerja disampaikan dalam simposium “Dr. Mohammad Asad – A Life for Dialogue”, pada April 11, 2011 di King Faisal Center for Research and Islamic Studies, Riyad.



View original article at: https://irfront.net/post/articles/prinsip-pemerintahan-dalam-islam-menurut-muhammad-asad-bahagian-ii/