Kata Pengantar “Apa Yang Aku Yakini” terjemahan “What I Believe” oleh Tariq Ramadan

December 14, 2017 by Ahmad Farouk Musa

“Jiwa yang tercerah itu adalah jiwa yang sedar terhadap kemanusiaannya pada masanya sendiri, beserta sejarah dan suasana sosial dan persekitarannya. Yang dengan kesedarannya itu, akan terbenihlah perasaan tanggungjawab sosial dalam dirinya.”
[Asy-Syahid Dr ‘Ali Shariati]

Para reformis di semua tempat dan dalam semua hal harus bermula daripada kenyataan yang wujud sepertimana adanya. Dunia harus dilihat sepertimana hakikatnya pada hari ini, bukan dengan apa yang kita bayang dan inginkan. Hanya dengan apresiasi dan keinsafan terhadap realiti itu, dapat kita membina dan merekonstruksinya semula. Dunia hari ini, terbentur dengan ideologi dan pola pemikiran yang saling bertembung, di mana pemikiran dan tradisi saling mendesak dan menjabarkan pengaruhnya dalam pertarungan kuasa dan dominasi.

Dunia Islam hari ini muflis dan tandus dengan kaum intelektual. Memang tidak dinafikan, terdapat ramai golongan akademik dan profesional, saintis, penyelidik dan birokrat; tetapi ketandusan suasana intelek. Tidak dinafikan hal ini diakibatkan daripada keadaan masyarakat yang dangkal dan terpuruk dan menjadi pentaqlid, yang galak berdentum dan sangar dan amat tidak tolerer pada kaum intelektual. Dan kerana sumber pengetahuannya adalah ulama tradisional, dan fahaman ortodoks yang dominan, maka dengan sendirinya menjalar dan mengakarlah sikap anti-intelek tersebut.

Tetapi siapakah para intelektual Muslim ini? Tidak lain, mereka adalah kaum yang cenderung kepada idea yang abstrak dan jua spesifik, kerana dunia realiti membutuhkan kedua-duanya. Tidak seperti Socrates, yang berminat pada idea semata-mata; mereka mencari idea untuk membawa perubahan dan mencetuskan reform; dan sepertimana Socrates, mereka mencanangkan pemikiran dan membawa gagasan, melontarkan kritik dan persoalan, yang menjadi matlamat dalam perjuangan hidup mereka, malahan kehidupan mereka menjadi pertaruhan dalam mencapai matlamat itu.

Para intelektual adalah satu-satunya kelompok dalam masyarakat yang secara konsisten dan sistematik - berbeza dengan kaum profesional yang lain – cuba mengimbau dan melihat suatu perkara dalam perspektif yang lebih luas, saling-berkait, bertimbal balik dan menyeluruh. Dan lantaran itu, mereka berada di garda depan dalam mempelopori dan mensintesiskan idea dan pemikiran baru. Dalam perkataan ‘Ali Shariati, merekalah sebenarnya golongan Rausyanfikr, atau kaum pemikir yang tercerah.

Shariati yakin bahawa sebarang perubahan hanya akan tercetus apabila ada agen yang dapat membangkitkan kesedaran revolusioner. Kesedaran revolusioner itu tidak mungkin terbit daripada massa kerana massa terperangkap dalam rutin harian. Maka harus ada intelektual organik yang menjadi pemangkin bagi kesedaran revolusioner ini. Sesungguhnya kelompok kecil intelektual inilah yang mampu menyedarkan massa akan segala ketidak-adilan dan kezaliman yang bermarajalela. Dan kelompok kecil inilah yang beliau namakan rausyanfikr.

Seorang ilmuwan menemukan kenyataan, tetapi seorang rausyanfikr menemukan kebenaran; ilmuwan hanya menampilkan fakta sebagaimana ianya, rausyanfikr memberikan penilaian yang seharusnya; ilmuwan bercakap dengan bahasa universal, tetapi rausyanfikr seperti para Nabi—bercakap dengan bahasa kaumnya; ilmuwan bersikap neutral dalam menjalankan pekerjaannya, tetapi rausyanfikr harus melibatkan diri dan bergelut dengan ideologi.

Rausyanfikr adalah sosok yang sedar tentang kondisi manusia di zamannya, serta suasana sejarah dan masyarakatnya yang memikul rasa tanggungjawab sosial. Ia tidak harus berasal daripada kaum terpelajar maupun intelektual. Mereka adalah pelopor dalam revolusi dan gerakan ilmiah. Di zaman moden ini, rausyanfikr dapat menumbuhkan rasa tanggungjawab dan kesedaran dalam memberi pengarahan intelektual dan sosial kepada rakyat. Rausyanfikr meneladani semangat profetis, yakni pemimpin yang mendorong terwujudnya pembenahan-pembenahan stuktural yang mendasar. Mereka muncul daripada golongan rakyat yang cakap dalam mengartikulasi dan menciptakan semboyan-semboyan baru, memproyeksi pandangan baru, dan menggembeling gerakan, dan membangkitkan tenaga baru dalam inti kesedaran masyarakat.

Ia adalah gerakan revolusioner, yang mendobrak, tetapi konstruktif. Merubah jati diri masyarakat yang mandek dan beku menjadi progresif, dan menimbulkan keyakinan untuk menentukan nasibnya sendiri. Seperti halnya para Nabi, rausyanfikr bukan dari kelompok ilmuwan dan rakyat yang tidak berkesedaran dan kaku. Akan tetapi, mereka adalah individu yang berkesedaran dan bertanggungjawab untuk mencetuskan perubahan yang besar.

Rausyanfikr adalah model manusia ideal yang dicita-citakan oleh Shariati untuk memimpin masyarakat menuju pembaharuan dan revolusi. Rausyanfikr adalah pemikir tercerah yang mengikuti ideologi - suatu keyakinan yang dipilih secara sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang timbul dan memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat. Ideologi diperlukan, untuk mengarahkan suatu masyarakat atau bangsa dalam mencapai cita-cita dan wahana perjuangan. Ideologi dipilih untuk mengubah dan merombak status quo secara fundamental. Sebagaimana para Rasul, yang muncul untuk mengubah sejarah dan melakarkan sejarah baru, yang memulakan dan merintis gerakan progresif dalam sejarah, menyedarkan umat terhadap kenyataan hidup. dan menerajui revolusi sistemik.

Karakteristik yang diambil rausyanfikr dalam penebaran ideanya adalah memahami situasi, merasakan desakan untuk mengarahkan tujuan yang tepat dalam mendakyahkan kehidupan yang bermoral, menetapkan sikap yang anti-status quo, konsumerisme, hedonisme dan segala kerancuan filosofis, menuju kepada masyarakat yang mampu memaknai hidup, konteks, dan realiti umum.

Dalam salah satu karyanya yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Dr Amein Rais sebagai Tugas Cendekiawan Muslim (2001), ‘Ali Shariati menjelaskan secara panjang-lebar tanggungjawab orang-orang yang tercerahkan itu, yakni “menentukan sebab-sebab keterbelakangan masyarakatnya dan menemukan penyebab sebenarnya daripada kebekuan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya. Mereka juga harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenal alasan-alasan dasar bagi nasib sosio-historis yang tragis itu. Lalu, dengan berpijak pada sumber-sumber, tanggungjawab, kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan masyarakatnya, mereka dituntut menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang memungkinkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam masyarakatnya, dan mendiagnosis pula atas penderitaan masyarakatnya. Orang yang tercerahkan itu akan berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan kelainan-kelainan serta berbagai faktor dalaman dan luaran. Akhirnya, orang yang tercerahkan harus mengalihkan pemahaman di luar kelompok teman-temannya yang terbatas ini kepada masyarakat secara keseluruhan.” Rausyanfikr adalah kunci bagi perubahan, oleh karenanya, sulit diharapkan perubahan tanpa peran mereka. Merekalah penghubung yang meninggalkan isolisasi menara gading dan terjun berinteraksi dalam ranah kemasyarakatan dengan idea-idea mereka

Mereka adalah pendorong yang menggerakkan umat yang tidur panjang menuju harakat perubahan dan perlawanan terhadap tirani. Hanya setelah digerakkan oleh rausyanfikr, masyarakat dapat mencapai lompatan kreatif yang besar menuju suatu peradaban yang baru. Pemikir tercerahkan adalah aktivis yang yakin dan nekat dalam ideologi mereka dan berazam mencapai syahid dalam perjuangan tersebut. Misi serampang dua mata mereka adalah untuk memandu “umat yang tertidur dan bebal” dan mengidentifikasi masalah yang riil berupa kemunduran masyarakat.

Sesungguhnya perubahan yang kita lihat dalam tamadun Barat, adalah kesan daripada perubahan dan idea yang dibawa golongan intelektual ini. Pencerahan yang tercetus di Barat, yang membentuk asas kepada sains moden, terhasil daripada gerakan intelektual. Para intelektual yang menggerakkan tradisi pencerahan, baik Montesquieu, Fontanelle, Diderot atau Voltaire, masih dibaca idea dan pemikiran mereka yang mempunyai impak dan pengaruh yang mendalam. Reformasi di Eropah juga terhasil daripada perjuangan kaum intelektual. Tanpa filsafat dan penentangan dari Martin Luther, Calvin dan Zwigli, yang telah mencabar dan mendobrak penguasaan Gereja Roman Katolik; sukar untuk kita bayangkan reformasi dapat berlaku.

Dalam peradaban Kaum Muslimin, peranan golongan intelektual ini lebih krusial kerana banyak ayat al-Qur’an yang mengarahkan kepada pembacaan, taakulan dan perenungan. Kerana itulah kemuncak daripada tamadun Islam, adalah di era ketamadunan di zaman gergasi intelektual, seperti al-Farabi, al-Khawarizmi, al-Biruni, al-Mas‘udi dan seumpamanya. Tidak mungkin wujud tamadun Islam yang gemilang dan dinamik di masa depan tanpa adanya golongan intelektual yang kreatif dan kritis. Di saat dunia Islam dihantui oleh pelbagai macam masalah dan krisis, di mana taqlid dan peniruan tanpa sebarang dalil dan pembuktian telah menjadi norma, dan ketika masyarakat lebih sering berdenting dengan wacana Islam yang “berkumandang seperti keselorohan dan kebadutan” dan lawak jenaka dalam ceramah agama para asatizah; maka kehadiran para intelektual itu menjadi satu kebutuhan.

Ketandusan dalam pemikiran Muslim adalah lantaran kelangkaan dan kegersangan golongan intelektual yang bebas dan berani menyebarkan fikiran mereka. Memang terdapat ramai sosok intelektual di dunia Islam ini, tapi ia masih di bawah critical mass atau jumlah gerombolan yang dapat mendatangkan sebarang kesan. Sekiranya para ideolog atau reformis harakat Islam ini dapat menukar beberapa dasar dan ciri-asas mereka, maka jumlahnya mungkin boleh melepasi critical mass tersebut dan kehadiran mereka akan dirasai oleh masyarakat Islam, lantas mempengaruhi pemikiran Islam masa kini. Mereka juga harus memastikan adanya ruang intelektual yang memungkinkan pandangan dan keyakinan mereka diutarakan. Tanpa adanya ruang intelektual ini, maka idea reformis ini tidak dapat menerobos dan menggempur ke tengah.

Namun tidak dinafikan bahawa golongan intelektual kini menghadapi pelbagai cabaran. Dan cabaran yang paling getir adalah tantangan modenisme. Modeniti mungkin bukan suatu permasalahan bagi golongan konservatif dikalangan kita. Tetapi yang bakal menjadi masalah adalah kesan daripada idea modeniti tersebut. Ia lebih jelas sekiranya kita melihat perbahasan tentang konsep dan faham moden seperti ‘sekularisme’ dan ‘hak asasi manusia’. Sekularisme adalah berasas pada kefahaman tentang hak. Keseluruhan budaya sekular di zaman moden terangkum dalam ruang lingkup hak-hak asasi seorang individu. Iaitu hak individu untuk bersuara, berfikir, belajar, bekerja, dan sebagainya. Dan ini kemudiannya membawa kepada suatu kefahaman baru tentang permasalahan umat manusia yang berasaskan pada kebebasan ikhtiar bagi seorang individu yang bebas. Bahasa yang digunakan dalam perbicaraan hak ini adalah berlainan daripada bahasa tradisional dalam perumusan agama. Hal ini kerana dalam bahasa religius, gagasan ini dianggap sebagai tanggungjawab, dan bukannya hak.

Seperti dalam bahasa fiqh, hal ini dimengerti dalam rangka taklif atau tanggungjawab, bukannya satu wacana tentang hak. Kerana itulah wujud perbezaan yang krusial tentang kehidupan pada abad klasik dengan kehidupan moden. Pada zaman dahulu, seseorang itu dianggap punyai tanggungjawab untuk menjadi beragama atau beretika. Kefahaman tentang Tuhan dari kacamata tradisi di abad medieval adalah Tuhan yang bersifat tirani, Yang Maha Berkuasa menuntut kepatuhan dan ketaatan kepadaNya, atau seperti diungkapkan oleh Za‘ba dalam bukunya “Taqdir (Sukatan Azali) Dalam Ugama Islam” sebagai Tuhan yang “tiada tetap hukum keadilanNya lagi bersifat istibdad, pemarah dan berhati batu.” Kefahaman tradisi tentang ketuhanan menyifatkan Tuhan sebagai tidak tolerer dan memaksa. Tetapi di zaman moden, kita merasakan sudah haknya untuk kita menjadi beragama dan beretika; malahan, kita menuntut hak untuk menjadi beragama dan menzahirkan kepercayaan agama kita, sebagai dinyatakan oleh Za‘ba “Maka bukanlah sekali-kali tujuan ber‘ibadat itu kerana hendak “memujuk hati Tuhan” jangan Ia marah atau hendak menambahkan kebesaran kepada Tuhan dengan tiada sesuatu faedahnya bagi membela diri kita.”

Kefahaman kita tentang Tuhan juga berubah pada masa ini, di mana kita merasakan menjadi hak untuk kita taat dan patuh kepadaNya dan menzahirkan kecintaan kepadaNya dengan bebas tanpa paksaan. Tuhan, di zaman moden ini, dianggap sebagai Tuhan yang memberikan hak, yang lebih dekat kepada individu yang beriman itu. Pendekatan ini diketengahkan oleh Muslim yang menetap di Barat yang menuntut hak mereka untuk mempraktikkan agama mereka secara terbuka, yang integral dengan identiti mereka sebagai kaum minoriti. Maka agama, justeru, menjadi sebahagian daripada proses politik identiti.

Dalam menghadapi ranah kemodenan inilah, seorang intelektual Muslim harus memainkan peranannya. Mereka, adalah golongan yang memahami perbezaan yang fundamental antara Islam dan modeniti, kerana kedalaman pengetahuan Islam mereka dan kefahaman mereka tentang konteks moden dan hal yang intrinsik yang bersangkutan dengannya. Justeru merekalah golongan yang dapat menjadi penghubung dan merapatkan jurang antara keduanya. Tetapi untuk menyempurnakan tugas ini, seseorang itu harus tahu bagaimana dan mengapa Islam dan modeniti itu berbeza, dan di manakah sebenarnya terletak kelainan itu. Mereka tidak hanya kenal kelainan dari segi pakaian, budaya, dan tingkah laku; kerana ini hanyalah gejala daripada kelainan tersebut, tetapi bukan kelainan dari segi epistemologi itu sendiri.

Intelektual Muslim di zaman moden, sebenarnya dari satu sudut, adalah spesis hybrid. Mereka muncul daripada pangkal yang mendasar antara idea-idea moden dan pemikiran tradisional. Kita telah melihat kemunculan sosok-sosok ini di dunia Islam yang telah merasakan kesan penjajahan dan bergulat dengan sistem ekonomi dan pendidikan moden. Mereka punyai landasan yang kukuh dalam tradisi Islam dan dalam dunia moden yang luas. Dan kerana itu, mereka merasa selesa dalam kedua-dua dunia itu. Intelektual Muslim yang moden tidak merasa janggal menggali khazanah intelektual Islam untuk mencari penyelesaian masani. Mereka lebih berkesanggupan kerana mereka bukan produk daripada madrasah tradisional yang kaku dan keras.

Mereka tidak terikat dengan norma tradisional maupun undang-undang dan diskusi religius kerana mereka bebas daripada tradisi agama yang sempit. Berlain dengan ulama tradisional, yang tidak pernah melepasi teks dan keharfiahan nās, intelektual moden ini bisa memahami secara kritis dan mendalam kehendak dan maqāsid teks itu sendiri. Hal ini tidaklah bererti bahawa pembacaan dan interpretasi lampau itu tidak penting atau relevan, tetapi kerelevanannya itu terikat dengan kerangka yang lampau, pra-moden, dan bukan di zaman ini.

Ranah moden adalah suatu yang tidak pernah dihadapi di zaman dahulu. Ia membutuhkan pemikiran bebas dan merdeka untuk memecahkan permasalahan, tidak hanya berdasarkan kepada teks [nusūs], tetapi pada nalar yang dikurniakan Allah. Penyelesaian bagi kemusykilan moden ini, baik dari segi ekonomi, perundangan, dan tata-kelola pemerintahan tidak diperoleh dalam teks al-Qur’an maupun karya-karya turāth, sebaliknya lebih memerlukan penta’kulan terhadap ilmu moden secara kritis dengan kekuatan akal yang dikurniakan Tuhan.

Kita tidak punyai banyak pilihan buat masa ini. Dunia Islam kini terperangkap antara negara dan kerajaan yang berorientasi sekular yang mengenepikan etika, dan ulama yang ortodoks dan konservatif dalam pemikiran dan pemahaman mereka. Maka karena itu, tugas dan peranan untuk memperbaharui Islam terletak di bahu Kaum Intelektual Muslim yang moden, yang perlu untuk menjarakkkan diri mereka antara dua titik ekstrim tersebut.


Dato’ Dr. Ahmad Farouk Musa merupakan Pengarah di Islamic Renaissance Front (IRF), iaitu sebuah badan pemikir yang mengupayakan Islah dan Tajdid dalam pemikiran umat Islam serta pemerkasaan akal. Beliau juga adalah Felo Penyelidik di Sekolah Tinggi Falsafah Islam (STFI) Sadra, Jakarta, Indonesia. Buku Apa Yang Aku Yakini ini akan diluncurkan pada 16 Disember 2017 di Concorde Hotel, Kuala Lumpur.

 

 




View original article at: https://irfront.net/post/articles/kata-pengantar-apa-yang-aku-yakini-terjemahan-what-i-believe-oleh-tariq-ramadan/